PERKEMBANGAN DOKTRIN TINDAKAN NEGARA (ACT OF STATE DOCTRINE) SETELAH KONSEP KEKEBALAN NEGARA (TEORI IMUNITAS)

Moch. Basarah

Abstract The concept of absolute immunity is not longer preserved because of recognition against act of state doctrine. However, notwithstanding the cease of the concept, the protection of state sovereignty remains firmly in place. The protection of absolute immunity can be granted when a state act in iure imperii, but not it related to matters of a commercial nature. Act of state doctrine will be deemed as a state act, provided that it is conducted within the territorial jurisdiction. Thus, the doctrine can be use to determine whether it is iure imperii or iure gestiones.

Kata kunci: imunitas mutlak, kekebalan negara, act of state doctrine. A. Pendahuluan Kedaulatan merupakan aspek utama dalam pergaulan negara yang satu dengan lainnya (dan organisasi-organisasi negara) yang diatur oleh hukum. Brownlie mengatakan bahwa kedaulatan suatu negara akan menentukan bentuk hukum negara tersebut sedangkan hukum akan menentukan syarat adanya kedaulatan. Pengertian kedaulatan ini memang merupakan kata yang sulit karena dapat menimbulkan arti yang berlainan. Jika arti kedaulatan itu dimaksudkan bahwa negara mempunyai kekuasaan tertinggi, maka pengertian inilah yang banyak menimbulkan salah paham Karena tidak mungkin hukum internasional mengikat negara, jika negara merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui kekuasaan yang lebih tinggi. Pengertian kedaulatan negara ini apabila dikaitkan dengan tindakan negara (act of State) misal pengambilalihan hak milik orang asing, pencabutan ijin usaha orang asing dan sebagainya ternyata mengalami perkembangan yang pesat. Permasalahan yang timbul dari tindakan negara tersebut adalah apakah tindakan negara dari suatu negara berdaulat dapat dituntut oleh suatu pengadilan di luar wilayahnya.Gerald Fitzmaurice mengemukakan dua hal; (a) mengakui kekebalan negara secara mutlak dari proses persidangan apapun kecuali atas kesukarelaan; (b) membedakan antara tindakan negara dan tindakan non negara, dengan mengakui kekebalan bagi tindakan negara dan menolak kekebalan bagi tindakan non negara. Pada mulanya konsep kekebalan negara yang dianut adalah kekebalan mutlak, namun konsep kekebalan mutlak ini hanya bisa bertahan sampai abad ke 19.Hal tersebut disebabkan karena terjadinya praktek hukum pengakuan terhadap doktrin tindakan negara, sehingga pendukung doktrin kekebalan absolut menjadi berkurang. Karena pada kenyataanya penerapan kekebalan absolut sangat sulit dilakukan. Namun demikian, dalam yurisprudensi beberapa negara, perlindungan terhadap suatu negara dalam bentuk imunitas kedaulatannya, hanya diberikan apabila negara yang bersangkutan telah bertindak dalam kualitasnya sebagai suatu negara dengan kekuatan politisnya bukan sebagai pedagang Di Inggris penerapan konsep kekebalan negara sangat dibatasi, yang hanya dapat diterapkan pada aktivitas-aktivitas publik dan pemilikan hak untuk tujuan publik. Sedangkan Amerika Serikat, kekebalan negara ditolak jika tindakan-tindakan negara yang dilakukan tidak berkaitan dengan fungsi pemerintah. Sedangkan di Belanda dan Jerman kekebalan negara hanya diberikan terhadap tindakan negara dalam kapasitasnya sebagai imperium. Tetapi dalam praktek khususnya di Belanda tidak dapat menerapkan konsep tindakan negara atas hak milik orang asing (property) dan aktivitas-aktivitas negara asing berdasarkan kedaulatannya. Karena sulitnya untuk membedakan antara tindakan negara dalam kapasitasnya sebagai negara berdaulat (acta imperii) dan tindakan negara dalam melakukan aktivitas ekonomi (acta gestionis), terutama sebelum tahun 1943. Perbedaan pendapat antara penerapan konsep kekebalan negara yang mutlak (absolut) dan kenyataan dalam praktek berbeda di setiap negara. Disatu pihak banyak perusahaan negara maju yang telah melakukan investasi untuk mengembangkan usahanya di negara lain. Tetapi dilain pihak dalam beberapa kasus terdapat tindakan negara yang diadili pengadilan asing berkenaan dengan pengambilalihan namun tidak pernah dilakukan eksekusi atas putusan pengadilan asing tersebut.

1. Teori Imunitas Konsep kekebalan negara sebenarnya telah menjadi pusat perhatian dan perdebatan para ahli hukum internasional sejak abad ke 19. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat suatu fenomena baru yaitu usaha kodifikasi hukum internasional yang mendorong ke arah penetapan posisi negara-negara dan kelompok-kelompok negara dalam kaitannya dengan kekebalan negara. Terhadap masalah kekebalan negara, menunjukan bahwa perkembangan hukum kekebalan negara tidak perlu membahasnya secara khusus, karena sebagian besar sumber hukum kekebalan negara diperoleh dari keputusan-keputusan pengadilan sebagai bukti praktek negara dalam bidang ini. Tetapi saat ini terdapat kecenderungan ke arah pembatasan kekebalan negara pada tingkatan-tingkatan tertentu yang disebut iure imperii. Oleh karena itu, tidak ada negara yang mengeluarkan kebijaksanaan yang bertentangan dengan kecenderungan ini. Adanya kecenderungan untuk membatasi kekebalan negara, masalah kekebalan negara dari yurisdiksi negara lain tetap merupakan bagian penting hukum internasional. Karena kekebalan negara pada dasarnya mencerminkan struktur hubungan internasional yang diatur oleh hukum internasional. Dan salah satu ciri kedaulatan adalah kekebalan negara dari campur tangan atau gangguan dalam pergaulan internasional. Oleh karena itu, masalah kedaulatan sangat erat hubungannya dengan yurisdiksi negara. Namun, dalam hukum internasional prinsip kekebalan negara harus diartikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban (positif), agar prinsip ini dapat mendefinisikan tindakan-tindakan yang melanggar dan tidak melanggar hukum. Terhadap konsep kekebalan negara sebagian ahli memandang adanya perkembangan yang dapat mengubah konsep klasik kekebalan negara, karena turut campurnya negara dalam bidang perekonomian nasional dan internasional yang semakin meluas. Keadaan ini merupakan latar belakang sosial perubahan konsep kekebalan negara yang merupakan perubahan sifat, dan fungsi negara pada umumnya. Seperti, pembentukan perusahaan-perusahaan milik negara, monopoli perdagangan asing dan berbagai bentuk perdagangan yang dilakukan oleh negara, menyebabkan perubahan-perubahan penting dalam hukum kekebalan negara.

Namun yang terpenting adalah bahwa kekebalan negara hanya berlaku dalam kasus-kasus di mana kekebalan negara dapat berfungsi menjamin kepentingan negara atau kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan, bukan untuk hubungan ekonomi biasa Karena pada umumnya pada hubungan ekonomi internasional terdapat dua bentuk

(1) Suatu negara dapat menjalin hubungan langsung dengan negara-negara lain sebagai pemerintah;

(2) hubungan melalui perusahaan-perusahaan negara yang tidak bertindak atas nama negara. Lain halnya jika perusahaan-perusahaan negara dianggap sebagai organ negara dalam kaitannya dengan konsep hukum internasional, maka dalam keadaan-keadaan tertentu perusahaan negara berhak menuntut kekebalan. Karena tidak ada ukuran-ukuran yang diakui secara universal dalam hukum internasional untuk mendefinisikan perusahaan negara sebagai organ negara atau kekayaan negara. Karena dilain pihak perusahaan milik negara dipandang sebagai badan hukum terpisah dan memliki otonomi finansial dan ekonomi tertentu. Sedangkan menurut Undang-undang Hukum Perdata negara-negara sosialis di Eropa, perusahaan milik negara tidak bertanggung jawab atas utang negara, demikian pula negara tidak bertanggung jawab atas utang perusahaan negara. Perlu pula diketahui bahwa perusahaan negara meskipun tidak diakui sebagai pemilik asetnya, tapi dapat bertindak untuk kepentingan sendiri baik tanggung jawab maupun kewajibannya. Dalam hal ini yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa kedudukan perusahaan milik negara harus ditentukan berdasarkan lex personalis yaitu atas dasar hukum negara pemilik, kecuali perusahaan-perusahaan yang didirikan di luar negeri harus tunduk pada peraturan-peraturan negara bersangkutan. Pengadilan negara Barat berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan milik negara tidak berhak atas kekebalan di bawah hukum internasional, karena perusahaan negara bukan merupakan kekayaan umum negara. Oleh karena itu, bagi masalah-masalah lainnya diatur oleh hukum perdata internasional bukan oleh hukum internasional publik. KPE Lasok dalam membahas kasus Rorimplex, berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan milik negara pada umumnya tidak memiliki keinginan sendiri, tapi hanya menjalankan keinginan Pemerintah. Namun, dalam beberapa hal organ negara mempunyai hak untuk mengadakan perjanjian dengan perusahaan-perusahaan atau individu-individu dari negara lain (asing), meskipun kedudukannya untuk melakukan kegiatan ekonomi atau bisnis nampaknya sulit. Keragaman isi kontrak yang dilakukan oleh organ negara, memberikan bukti bahwa hukum kontrak sangat berbeda dari kasus ke kasus dan dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi pada penerapan kekebalan negara. Oleh karena itu, pemberian kekebalan bagi negara yang terlibat dalam kontrak antar negara dapat memperkuat kedudukan hukum, ekonomi dan politik negara-negara tersebut dalam hubungan mereka dengan perusahan-perusahaan asing. Berdasarkan hal tersebut tidak realistis jika kekebalan negara hanya dapat diperluas ke dalam jenis-jenis kontrak antar negara tertentu.

2. Doktrin Tindakan Negara (Act of State Doctrine) Dalam hubungannya dengan kekebalan negara, terdapat sebuah doktrin yang disebut doktrin tindakan negara (Act of State Doctrine) atau Secondary Immunity. Doktrin tindakan negara telah lama menjadi bagian yang tidak tersentuh oleh perubahan yurisprudensi Inggris. Di Inggris dan Amerika Serikat kasus-kasus tindakan negara relatif langka dan kurang mendapat perhatian selama bertahun-tahun sebelum kasus Sabbatino. Tetapi kasus-kasus yang terjadi telah memperlihatkan suatu indikasi bahwa doktrin tindakan negara akan cukup penting dimasa mendatang. Sebagaimana timbulnya aktivitas-aktivitas negara dalam bidang ekonomi. Doktrin ini tampaknya baru dapat diberlakukan, jika perisai kekebalan negara dapat ditembus. Doktrin ini merupakan aturan sebagai langkah kedua yang dapat dijadikan pedoman oleh pengadilan dalam memberikan putusan. Apakah peraturan hukum negara asing dapat diberlakukan jika negara asing tersebut bertindak dalam yurisdiksinya. Doktrin ini tidak jauh berbeda dengan doktrin kedaulatan, karena kedua doktrin tersebut pertimbangannya atas dasar yang sama yaitu menghormati kedaulatan negara lain.

Pengertian doktrin tindakan negara tidak saja mencakup pelaksanaan kedaulatan oleh kekuasaan eksekutif atau administratif dari suatu negara merdeka dan berdaulat, atau aparat-aparatnya atau pejabat-pejabatnya yang sah. Tetapi merupakan tindakan-tindakan legislatif dan administratif seperti Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah[. Oleh karena itu, doktrin tindakan negara akan muncul dalam berbagai bentuknya, seperti suatu doktrin pemerintah asing untuk menyita harta kekayaan di dalam yurisdiksinya yang dipermasalahkan oleh pihak swasta yang mendasarkan keabsahan haknya atas suatu pembelian dari pemerintah asing. Di negara-negara Anglo Saxon, Inggris dan Amerika serikat, hakim-hakimnya telah memegang teguh doktrin tindakan negara ini. Jika suatu tindakan berasal dari negara berdaulat yang diakui oleh pemerintah negara mereka, maka hakim di negara-negara Anglo Saxon akan menyatakan tidak berwenang untuk mengadakan pengujian terhadap perbuatan-perbuatan negara yang telah diakui sebagai negara berdaulat (iure imperii). Contoh klasik doktrin tindakan negara telah diterapkan pada kasus Luther lawan Sagor di Pengadilan Inggris pada tahun 1921, dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin tindakan negara tidak memiliki otoritas lebih tinggi dibandingkan dengan sejumlah putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, seperti dalam perkara Underhill. Namun, tampaknya putusan pengadilan Inggris telah memberikan pengaruh lebih penting dalam penerapan doktrin ini. Prinsip doktrin tindakan negara dalam bentuknya yang modern dapat diketahui dari kasus Hatch lawan Baez. Hakim Gilbert yang menangani kasus tersebut menyatakan : “Berdasarkan sikap saling menghormati di antara bangsa-bangsa dan hukum internasional, pengadilan suatu negara tidak dapat mengadili tindakan-tindakan dari pemerintah negara lain yang dilakukan di dalam wilayahnya sendiri” Dalam kasus tersebut, sebagaimana telah diputuskan oleh Hakim Gilbert tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tergugat sesuai dengan kapasitasnya sebagai Presiden Republik San Domingo, yang dianggap cukup untuk dijadikan dasar keputusan Pengadilan mengenai kekebalan pribadi yang dinikmati pejabat-pejabat pemerintah negara asing atas tindakannya yang dilakukan sesuai kapasitasnya. Sehubungan dengan hal tersebut, pengadilan menyimpulkan hal-hal sebagai berikut: “Meskipun individu tersebut kebal terhadap gugatan pengadilan asing, tetapi pelaksanaan kedaulatan suatu negara harus memelihara perdamaian dan harmonisasi di antara bangsa-bangsa” Dari simpulan ini tampak bukan saja negara yang dipandang mempunyai kekebalan (ratione personae), tetapi juga tindakan-tindakannya harus dianggap kebal dan tidak dapat diuji oleh hakim asing. Inilah suatu imunitas ratione materae atau juga doktrin tindakan negara. Untuk mengantisipasi kasus-kasus selanjutnya, perlu adanya keselarasan antara pengadilan dengan pihak organ negara terkait, terutama dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan negara asing yang berdaulat untuk menerapkan dan mengakui hak-hak negara asing yang didasarkan pada niat baik yang dituntut pada kehidupan masyarakat internasioal yang merupakan bangsa-bangsa beradab. Di samping itu, batas-batas doktrin tindakan negara dapat ditemui melalui peraturan-peraturan yang biasa digunakan dalam Conflict of Laws.

Sehubungan dengan hal tersebut dapat dikemukakan :

(a) jika negara asing yang berdaulat atau wakil-wakilnya sebagai tergugat, caedit questio, berlaku doktrin kekebalan negara;

(b) jika tindakan negara tersebut menimbulkan gugatan di antara pihak-pihak swasta, dan sengketa tersebut kemudian mengarah pada hukum asing, maka hukum yang berlaku adalah hukum perdata internasional;

(c) jika kerugian dilakukan berdasarkan lex loci delicti commisi, maka pengadilan forum harus menanganinya jika tergugat setuju atas gugatan tersebut;

d) jika suatu konfiskasi atas harta benda telah terjadi, maka lex rei sitae akan berlaku, jia tidak bertentangan dengan hukum internasional;

(e) jika keabsahan suatu Undang-undang negara asing menjadi masalah, maka hakim harus dapat menempatkan kedudukannya agar tidak bertentangan dengan negara asing tersebut. Bankes, yang melakukan pendekatan dari segi hukum perdata internasional, mengatakan bahwa pada kenyataannya lex rei sitae didasarkan pada pertimbangan kebijaksanaan publik negara forum (public policy of the forum) yang tidak dapat dihindari. Selanjutnya Warrington mengatakan, bahwa pada prinsipnya keabsahan tindakan-tindakan suatu negara yang merdeka dan berdaulat, baik yang berkaitan dengan harta benda maupun orang tidak dapat diuji oleh pengadilan suatu negara selama tindakan tersebut berada dalam yurisdiksinya. Berdasarkan uraian di atas, bermacam-macam pendapat mengenai doktrin tindakan negara, tidak perlu dibandingkan apakah doktrin tersebut merupakan ketentuan hukum internasional publik atau apakah harus dikarakteristikan sebagai ketentuan hukum perdata intenasional. Karena tidak ada prinsip hukum internasional publik yang mensyaratkan penerimaan ketentuan tersebut melalui pengadilan nasional. Dan tidak pernah ada gugatan di pengadilan internasional sebagai akibat gagalnya menerapkan doktrin tindakan negara.

C. Praktek Act of State Doctrin Yang Melibatkan Indonesia Dalam perkara ini penggugat (Industrial Invesment Development Corporation, Indonesia Industrial Invesment Corporation, Ltd. dan Forest Products Corporation Ltd.) telah mengadakan kerjasama dengan pihak PT. Telaga Mas untuk bersama-sama melakukan logging serta mengekspor kayu keberbagai negara, antara lain Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia telah memberikan kemungkinan untuk memperoleh konse¬si hutan di wilayah Kalimantan melalui PT Telaga Mas. Untuk kepentingan tersebut para pihak telah membuat suatu joint venture agreement pada tahun 1970. Pihak tergugat Mitsui (Multinational Corporation Mitsui and Co. Ltd. dan Mitsui and Co. Ltd. (USA) dianggap telah membuat suatu perjanjian dengan pihak PT. Telaga Mas yang kemudian dianggap merugikan penggugat. Pengaruh hubungan PT. Telaga Mas dan Mitsui, menyebabkan PT. TELAGA MAS tidak melanjutkan final agreement. Dengan demikian dapat diketahui putusnya hubungan hukum antara PT. Telaga Mas dengan penggugat disebabkan adanya intervensi pihak Mitsui. Atas dasar sengketa tersebut Dirjen Kehutanan atas nama pemerintah Indonesia melarang melanjutkan persetujuan yang telah dilangsungkan antara perusahaan joint venture (penggugat dengan PT. TELAGA MAS) dengan pihak pemerintah Indonesia. Hal ini dijadikan dasar oleh pemerintah Indonesia untuk membatalkan persetujuan melalui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menganggap bahwa pihak yang mewakili PT. TELAGA MAS dalam joint venture tidak mempunyai wewenang untuk mewakili perusahaan tersebut dalam penandatanganan joint venture agreement. Dengan demikian Pemerintah menganggap tidak dapat mengeluarkan ijin HPH kepada joint venture yang telah dibuat antara PT. TELAGA MAS dengan penggugat. Dalam kasus ini penggugat melalui pengadilan Amerika Serikat yaitu District Court Texas meminta ganti rugi berdasarkan Antitrust Law Amerika, yaitu Sherman Act; karena menganggap adanya pelanggaran praktek anti competitive, berkenaan dengan operasi penebangan kayu dan sebagainya di Kalimantan. Pihak Mitsui telah mengajukan suatu permohonan sidang kilat, dengan mengajukan eksepsi act of State doctrine tuntutan ganti rugi penggugat terhadap pemerintah Indonesia tidak dapat dilanjutkan. Dalam tingkat pertama argumen Mitsui dibenarkan dan pengadilan menganggap bahwa penolakan suatu konsesi kehutanan untuk penebangan kayu bagi penggugat yang dilakukan oleh Dirjen Kehutanan merupakan tindakan pemerintah Indonesia yang diakui oleh Amerika Serikat. Dengan ditolaknya ijin HPH, penggugat tidak dapat mengajukan gugatan ganti rugi karena dasar penolakan ijin HPH oleh Dirjen Kehutanan RI memiliki alasan yang kuat. Menurut District Court Texas, perkara tersebut tidak termasuk wewenang hakim AS, oleh karena itu gugatan pihak penggugat tidak dapat diperiksa dan eksepsi tergugat dikabulkan. Dalam tingkat banding pihak penggugat (Industrial Invesment Development) memperoleh putusan yang berlainan, karena dalam putusannya argumen Act of State doctrine tidak dipersoalkan, dengan perkataan lain pengadilan banding menolak argumen Act of State doctrine tergugat. dasar putusan tersebut, perkara gugatan penggugat kepada tergugat dapat dilanjutkan, untuk itu perkara harus diperiksa ulang. Pengadilan Banding menganggap bahwa argumentasi Act of State Doctrine tidak tepat digunakan karena kerugian yang terjadi disebabkan tindakan penggugat yang berkomplot dengan pihak PT. TELAGA MAS dengan tindakan mengahangi kompetisi bebas, sehingga ijin HPH ditolak oleh pemerintah Indonesia. Dengan demikian terdapat satu fase sebelum adanya penolakan ijin HPH, yang ternyata pihak tergugat telah melakukan tindakan persekongkolan dengan pihak PT. Telaga Mas yang tadinya merupakan partner penggugat. Penggugat dalam pengadilan banding mengajukan tiga masalah agar Act of State Doctrine tidak berlaku.Para tergugat tidak dapat mengelak dari tanggung jawab untuk ganti rugi yang disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri yang tercela, perbuatan-perbuatan mana harus dilihat secara berdiri sendiri dan terpisah walaupun perbuatan dari Pemerintah Indonesia menambah kerugian yang telah diderita para penggugat; sehinga tidak diberikannya ijin HPH kepada penggugat (joint Venture) oleh pemerintah Indonesia dapat dianggap bukan sebagai tindakan Pemerintah, tapi lebih dapat dilihat seperti membuat suatu perjanjian tertentu dalam melakukan Forestry Agreement dengan joint Venture bersangkutan. Jika melihat ketentuan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1999 tentang HPH dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi terdapat ketentuan yang menyatakan, bahwa syarat-syarat dan cara mengajukan permohonan serta cara memberikan hak pengesahan Hutan ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Sedangkan Pasal 11 ayat

(1) mengatakan “Hak Pengusahaan Hutan diberikan oleh Menteri Pertanian setelah mendengar pendapat Gubernur/Kepala Daerah Propinsi yang bersangkutan”. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, yang perlu diperhatikan adalah argumentasi penggugat yang menyatakan bahwa tindakan pemerintah Indonesia bukan sebagai tindakan pemerintah (berdaulat) tapi lebih dapat dilihat seperti membuat suatu perjanjian tertentu. Jika diteliti, pendapat penggugat dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 11 (1), tampaknya ketentuan ini tidak memberi peluang pemberian ijin HPH dengan suatu perjanjian tertentu. Dalam kaitannya dengan kasus di atas, dapat dipastikan jika para pihak merupakan perusahaan penanaman modal asing, maka sebelum melakukan kegiatannya terlebih dulu akan mengikuti ketentuan yang umumnya dilakukan oleh perusahaan PMA yaitu menandatangani perjanjian penanaman modal asing (PMA). Baik dalam bentuk perjanjian jaminan PMA (Invesment Guaranty Agreement) maupun perjanjian penanaman modal antara perusahaannya dengan Pemerintah Indonesia yang di dalamnya terdapat klausul penyelesaian sengketa atau suatu consent yang bentuknya kesepakatan untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase ICSID. Konsekuensi dari isi klausul tersebut, bagi pihak yang wan-prestasi harus mentaatinya. Oleh karena itu, jika yang dimaksudkan pihak penggugat pemberian HPH merupakan perjanjian tertentu artinya terdapat dalam perjanjian penanaman modal, tidak mungkin jika di dalamnya tidak termasuk consent tersebut yang mengarah ke arbitrase ICSID (centre). Karena biasanya bagi pihak asing pilihan hukum atau pilihan pengadilan tersebut merupa¬kan komponen yang sangat penting dan tidak pernah diabaikan.

Dengan demikian bagi pihak penggugat jika men¬ganggap dengan tidak diberikannya ijin HPH oleh pihak pemerintah Indonesia sangat merugikan. Maka dengan dasar perjanjian tersebut, sebenarnya dapat melakukan gugatan secara langsung sesuai dengan ketentuan Konvensi Washington 1965 (Konvensi tentang Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1968, yaitu melalui arbitrase ICSID. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ditolaknya ijin HPH oleh pemerintah Indonesia dilakukan atas dasar tindakannya sebagai suatu negara berdaulat (public act atau iure imperii), karena jika tindakan suatu negara atas dasar tindakannya dalam kapasitas iure gestiones (commercial act) harus dilakukan oleh Perusahaan Negara (BHMN). Tindakan Pemerintah Indonesia untuk tidak memberikan ijin HPH kepada perusahaan Joint Venture tersebut dilakukan sebagai tindakan prefentif yang merupakan jalan keluar bagi pengamanan hutan karena terjadinya sengketa pihak pengelola hutan yang kemungkinan akan melalaikan kewajibannya. Demikian pula, jika melihat latar belakang kasus ini ternyata para pihak yang keduanya merupakan perusahaan swasta asing berbadan hukum Indonesia, sesungguhnya harus mentaati ketentuan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya tindakan Pemerintah Indonesia merupakan hal yang wajar, walaupun keyataannya merugikan para pihak. Karena jika kembali kepada dasar gugatan dalam proses pengadilan pertama (pengadilan District Court Texas), sesungguhnya dasar gugatan tersebut tidak dapat dilepas dari masalah pemberian ijin HPH Pemerintah Indonesia.

Dengan demikian jika tergugat mengemukakannya berdasarkan Act of State doctrine, menurut hemat penulis adalah tepat. Bahkan sampai tingkat bandingpun argumen Act of State doctrine ini dapat di pertahankan. Hal ini jelas, jika melihat pendapat penggugat yang mengatakan bahwa tindakan Pemerintah Indonesia bukan merupakan tindakan negara berdaulat yang diakui oleh Amerika sebagai negara forum. Maka dapat disimpulkan bahwa penggugat memisahkan sebab dan akibat dari perkara bersangkutan, apakah sistem hukum negara bagian Amerika Serikat menganut ketentuan ini?. Karena tidak mungkin terjadi suatu sengketa tanpa didahului oleh suatu hubungan hukum, sedangkan hubungan hukum ini merupakan dasar yang penting untuk mengajukan suatu gugatan. Apabila melihat peraturan khusus masalah imunitas dari negara-negara yang menghadapi perkara tersebut. Secara khusus di Amerika Serikat telah dibuat peraturan yang dinamakan Fereign Soverign Immunity Act 1976. Dalam ketentuan tersebut, terdapat pengecualian umum atas imunitas mengenai yuridiksi terhadap suatu negara asing, yang dirumuskan sebagai berikut:

(1) Apabila negara bersangkutan telah melakukan suatu kegiatan komersil (commercial activity) yang telah dilakukan di dalam wilayah Amerika Serikat, atau;

(2) Apabila dilakukan suatu perbuatan dialam wilayah Amerika Serikat dalam hubungan dengan suatu kegiatan komersil dari negara asing di tempat lain ;

(3) atau apabila suatu perbuatan di luar wilayah Amerika Serikat tetapi dalam hubungannya dengan suatu aktivitas komersil dari negara asing di luar negeri dan perbuatan tersebut telah menyebabkan suatu akibat langsung (causes a direct effect) di Amerika Serikat maka tidak berlaku imunitas. Atas dasar peraturan khusus ini, tampaknya pengadilan di AS menerima Act of State doctrine dengan prinsip teritorialitas yaitu jika perbuatan dilakukan di dalam wilayah AS, imunitas bagi sebuah negara tidak berlaku. Hal ini menunjukan bahwa penafsiran Act of State doctrine di Amerika Serikat telah menjurus pada suatu penafsiran yang sempit, yang oleh sebagian pengamat dianggap tidak selaras dengan kondisi modern kehidupan internasional dewasa ini. Apakah penolakan Act of State doctrinee oleh Pengadilan Banding yang menyatakan Act of State Doctrine tidak menghendaki pengadilan Amerika Serikat melindungi pihak tergugat untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka yang berdiri sendiri, merupakan akibat langsung untuk keadaan Amerika yaitu hubungan baik dengan Pemerintah Indonesia atau akibat langsungnya berupa Restraint and monopolize foreign Commerce seperti yang dianut AS dalam Antitrust Law-nya, yang memperluas jangkauan teritorialitas menjadi ekstrateritorial dengan kebijaksanaan dalam bidang perdagangan dan perekonomian non kompetitif, sehingga sebuah organisasi dapat mengajukan suatu pembelaan dari tindakan suatu negara (asing) berdasarkan antitrust Law AS. Oleh karena itu, jika pendirian pengadilan banding di AS tersebut mengikuti tuntutan penggugat merupakan hal yang wajar karena pengadilan di A.S memperoleh otoritas untuk mempertahankan pendiriannya bukan berdasarkan hukum internasional.Pemberian otoritas ini diperoleh pengadilan-pengadilan AS seba¬gai konsekuensi pemisahan kekuasaan atau Separation of Powers yang dianut Undang-undang Dasar AS. D. Simpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Kekebalan mutlak suatu negara saat ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena adanya aktivitas-aktivitas negara dibidang ekonomi untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya.

2. Berakhirnya konsep kekebalan mutlak bukan berarti negara-negara tidak mempunyai perlindungan atas kedaulatannya. Karena perlindungan kekebalan mutlak dapat diberikan jika suatu negara bertindak sesuai dengan kapasitasnya (tindakan politik) atau iure imperii. Tetapi jika suatu negara bertindak karena aktivitas-aktivitas ekonominya (commercial act) atau iure gestiones perlindungan kekebalan mutlak tidak dapat diberikan.

3. Yang paling penting dalam hal doktrin tindakan negara (Act of State Doctrine) atau imunitas sekunder, bahwa tindakan suatu negara akan diakui sebagai tindakan dalam kapasitasnya (iure imperii) jika tindakan tersebut dilakukan dalam yurisdiksinya. Dan tindakan di dalam wilayah yurisdiksi tersebut akan menjadi ukuran apakah merupakan tindakan iure imperii atau iure gestiones.

Daftar Pustaka:

Andras Bragyova, Reflection Immunity of State from the Point of View of International Law, in Question of International Law, Hanna Bokor-Szego ed., Kluwer, 1986 Bistline-Loomis, The Foreign Soverign Immunities Act in Practice, AJIL vol. 73, 1979 D.P. O’Connel, International Law, London, 1965 Gerald Fitzmaurice, State Immunity from Proceedingin Foreign Courts, BYIL vol.14/1933 Gerald von Glahn, Law Among Nation, New York, 1981 Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Clarendon Press, London, 1990 Ita Gambiro, Perjanjian Lisensi dan Technical Assistence, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 1990 JHL Morris, Cases on Private International Law, London, 1960 Michael Singer, The Act of State Doctrine of the United Kingdom an Analysis With Comparison to United States Practice, AJIL 75/1981 Michael Zander, The Act of State Doctrine, in The International Law in Twentieth Century, New York, 1966 Mochtar Kusumaatmadja & Eti R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni Bandung, 2003, Putusan United States Court of Appeal, 5th, circuit, Aprl. 25-1979 Richard Falk, The Role of Domestic Courts in International Legal Order, Cyracus, 1964 Sompong Sucharitkul, Immunities of Foreign State before National Authorities, Collected Course HAIL, Leiden, 1976 Sompong Sucharitkul, Immunities of Foreign State Before National Authorities, NILR vol.10, 1976 Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1980 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Jkt, 1976 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia, Alumni, 1975 United States; Foreign Soverign Immunities Act 1976. UU No. 25 tahun 20077 tentang Penanaman Modal. W. Friedmann, Some Impact of Social Organization on International Law, AJIL vol.50 PP No. 6 tahun 1999 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan dar Hutan Industri.

Sosiologi Hukum Dalam Dimensi Moralitas Di Indonesia Oleh : Rizal Muchtasar*1 Intisari

Sosiologi hukum sebagai cabang dari disiplin ilmu hukum, kehadirannya

masih relatif sangat baru yaitu sekitar tahun 1960-an. Terkait dengan usianya yang

relatif muda itu, sosiologi hukum masih dihadapkan dengan berbagai tantangan,

baik yang sifatnya ekstern maupun intern. Agar keberadaannya semakin kokoh,

sejajar dengan cabang disiplin ilmu hukum yang lain, sekaligus mampu

memberikan kontribusi yang nyata bagi pencapaian kebenaran ilmu hukum, maka

sosiologi hukum dituntut untuk terus berbenah diri. Hanya melalui kesungguhan

hati yang didukung dengan keterbukaan terhadap moralitas dan cakrawala disiplin

ilmu lain, maka tantangan secara intern maupun ekstern itu akan dapat diatasi

dengan baik.

I. Tantangan ekstern sosiologi hukum

Sebelum sosiologi hukum lahir dan diakui keberadaannya oleh kalangan

akademik maupun profesional, dalam dunia ilmu hukum telah bercokol lebih

dahulu apa yang dikenal dengan normatif hukum ataupun dogmatik hukum

(rechtsdogmatic). Apa yang disebut dengan dogmatik hukum ini adalah hukum

yang berkembang di Indonesia terkait erat dan tak terlepaskan dari sejarah

perkembangan hukum di negeri Belanda dan Eropa pada abad 19. Bagi negaranegara

di Eropa pada abad 19, merupakan masa gemilang yang di tandai dengan

peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dimana individu sebagai

pusat pengaturan hukun. Kegemilangan itu dilatar belakangi oleh semangat

kemerdekaan individu yang berakar dari revolusi Perancis denga slogan liberty

*Staf Pengajar pada Fakultas Hukum UNHALU

egality dan fraternity. Filosofi itu berimbas pada dunia hukum dimana individu

begitu dihormati dan dihargai. Semangat dan paham ini untuk selanjutnya

diusahakan disebarluaskan dengan cara penaklukan atau penjajahan pada negara

lain.

Indonesia sebagai negara jajahan Belanda tak dapat melepaskan diri dari

proses transplantasi hukum Belanda. Disamping itu politik hukum pemerintah

kolonial Hindia Belanda. Menerapkan asas konkordasi dan asas ketunggalan

hukum (een heidsbeginsel). Dalam bentuk penyusunan kodifikasi dan unifikasi

KUHPerdata. KUHDagang dan KUHPidana merupakan asas-asas politik hukum

yang mengemuka pada abad ke 19 bahkan berlangsung pasca kolonial Hindia

Belanda.2

Dengan perkembangan hukum seperti di atas, otomatis jenis hukum yang

berkembang dan juga dijajarkan pada pendidikan hukum saat itu berupa hukum

yang berjiwa individualistik itu sudah harus dipisahkan dengan berbagai hal yang

bersifat teologik dan metafisik. Hukum semacam itulah ysng disebut hukum

positif dan sekaligus dijadikan sebagai ciri hukum modern.

Marc Galanter, mendeskripsikan karakteristik hukum modern itu sebagai

berikut:3

a. Hukum modern terdiri atas perbagai aturan yang diterapkan dengan

cara uniform dan konsisten.

2Tentang bagaiman proses transplantasi hukum kolonial ke hukum nasional ini dapat di lihat lebih

jelas dan lengkap pada Soetandyo Wignjosoebroto, 1994. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum

Nasional, Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Rajawali Press,

Jakarta.

3Marc Galenter, The Modernization of law, dalam Modernization: the dynamics of growth, voice

of america forum lectures, sebagaiman dikutip oleh Wukir Prayitno, 1990, Modernitas Hukum

Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang, hlm. 12

b. Perundang-undangan modern bersifat transaksional;

c. Norma-norma hukum modern adalah universalitas;

d. Sistemnya adalah berjenjang/hirarkis;

e. Sistem ini diatur secara birokratis;

f. Sistem hukum modern bersifat rasional;

g. Sistem ini dijalankan oleh para ahli hukun sendiri yang khusus belajar

profesional;

h. Sistem ini lebih bersifat teknis dan kompleks;

i. Sistem ini dapat diubah pada aturan dan prosedur guna menghadapi

kebutuhan-kebutuhan yang berubah;

j. Sistem hukum modern bersifat politis;

k. Legislatif, eksekutif dan yudikatif terpisah dan berbeda jelas;

Terkait dengan ciri-ciri hukum modern seperti di atas, maka ilmu hukum

yang berkembang adalah ilmu hukum dalam pengertian ius. Diantaranya ius

constititum yang berbentuk dalam negara dan perlu ada kepastian hukum. Ius ini

memiliki dua model. Pertama, model Perancis yang dibentuk oleh legislatif

sebagai wujud dari trias politika Montesqiue, yang berkembang di Perancis saat

itu. Sehingga disebut continental/civil law system. Kedua, model

anglosaxon/common law system yang membentuk yudisial yakni hakim dan

lawyer. Sedangkan teori (doktrin) hukum yang terkemuka hingga sekarang (abad

20 dan awal 21) berasal dari teori (doktrin) hukum Hans Kelsen, dapat

dicontohkan dengan masih menguatnya aliran positivisme.4

Pemikiran tentang hukum yang kemudian melahirkan positivisme, tak dapat

dipisahkan dari kehadiran negara modern.5 Ciri khas dari aliran positivisme pada

hukum modern ini bertitik temu pada formalitas,6 yang berlandaskan pada objek

real dan berangkat dari dedukasi dengan kekuatan logika telah mendapatkan

tempat yang signifikan pada kajian teori hukum. Hukum yang dipandang sebagai

suatu institusi yang otonom dan murni agar memiliki kekuatan sah dan mampu

berlaku maka tak boleh dan tak akan dicampuri oleh aspek non hukum baik politik

ekonomi, sosial bahkan moralitas.7 Teori hukum positif berlatar belakang pada

liberalisme yakni menjunjung tinggi pada kemerdekaan individu maka

perlindungan hukum individu penting untuk diutamakan dan memunculkan rule

of law.8

Hukum Indonesia yang termasuk dalam kategori hukum modern itu ternyata

tak dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang muncul dan dihadapi

oleh masyarakat. Dengan mendasarkan dengan apa yang dikemukakan Santos,

4Oleh Roberto Mangabein Unger disebutkan bahwa masyarakat abad 20 dan 32 sebagai

masyarakat pasca liberal yang masih kental dengan hukum modernnya, Roberto M. Unger, 1976,

Law in Modern Society Toward of Critism of Social Theory, Collier Macmillan Publisher, London.

5Satjipto Raharjo, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi, Makalah pada Seminar

Nasional Menggugat Pemikiran Positivisme di Era Reformasi, ODIH, UNDIP. Semarang, 22 Juli

2000, op.cit. hlm. 4

6Fornalitas menurut Unger adalah tanda-tanda yang membedakan suatu sistem hukum: usaha

untuk suatu hukum yang general, otonom, publik dan positif. Roberto M. Unger, op.cit, hlm.203.

7Dengan kata lain menurut Hans Kelsen, suatu teori hukum yang murni harus bersih dari politik,

etika, sosiologi, sejarah. Tugasnya ialah untuk mengetahui semua yang essensial dan perlu untuk

hukum, dan oleh karena itu bebas dari segala sesuatu yang berubah dan kebetulan. W. Friedman,

1993, Teori dan Filsafat Hukum:Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Rajagrafindo,

Jakarta. Hlm.169.

8Menurut bahasa supremasi hukum berasal dari kata supreme mempunyai arti kekuasaan tertinggi

(teratas), sedangkan hukum berarti peraturan. Maka supremasi hukum berarti suatu peraturan yang

tertinggi. H. Haris Soche, 1985, Supremasi Hukum dan Prinsip Demokrasi Di Indonesia,

Haninditia, Yogyakarta, hlm. 5.

ketidakmampuan hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah itu berkaitan

dengan ketidakseimbangan pilar penyangga modernisme. Pilar regulasi

mengalami ketidakseimbangan pada prinsip negara dan prinsip pasar

dibandingkan dengan prinsip komunitas. Prinsip negara yang didalamnya

terkandung kekuatan pemerintah terlalu dominan berkuasa dan prinsip pasar yang

didorong maju melalui konglomerasi yang didukung oelh birokrasi. Prinsip negara

dan prinsip psar berpadu menjadi satu, sehingga mereka memiliki kekuasaan

(dalam hal ini pengusa dan pejabat) juga terjun kedalam bisnis. Dua prinsip itu

maju kedepan sedangkan prinsip komunitas ditinggalkan sehingga masyarakat

sering menjadi korban dari kredo modernitas.

Kondisi hukum Indonesia yang seperti itu diistilahkan oleh Dato Param

Cumaraswamy disebut sebagai “kebusukan hukum”.9 Dikatakan bahwa kondisi

hukum Indonesia dalam keadaan kritis dan parah karena sudah meliputi kultur

baik internal yaitu aparat penegak hukum beserta filosofi peraturan produk

perundangan maupun kultur eksternal yaitu masyarakat luas. Selain itu dikatakan

bahwa sistem hukum Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia, sehingga

butuh waktu tahunan untuk memperbaikinya karena terkesan persoalan hukum

dibiarkan saja. Penilaian dari Cumaraswamy diperkuat pula hasil jajak pendapat

bulan Juni 2003 lalu dari Political Economic Risk Consultancy (PERC) bahwa

sistem peradilan dan kepolisian di Indonesia termasuk yang terburuk di Asia,

skornya 9,83 dengan nilai terburuk 10.

9Dato Param Cumaraswamy adalah utusan khusus PBB berlatarbelakang pengacara kelas dunia

asal Malaysia yang telah berpengalaman dan berkomitmen besar terhadap penegakan hukum yang

bersih. Lihat komentarnya dalam “Warning dari Cumaraswamy”, Republika, Kamis 25 Juli 2002,

Jakarta. Hlm. 5.

Kegagalan hukum modern dalam menyelesaikan persoalan di Indonesia

disebabkan karena hukum modern lebih memperhatikan perlindungan

kemerdekaan individu daripada sebagai pengantar keadilan.10 Maka tak heran

apabila pada hukum yang diutamakan struktur yang jelas, prosedural dan rigid.

Ciri dari instrumen dari hukum modern yaitu penggunaannya dengan sengaja

untuk mengejar tujuan-tujuan atau untuk mengantarkan keputusan-keputusan

politik, sosial dan ekonomi yang diambil oleh negara.11

Disadari atau tidak perkembangan hukum di Indonesia saat ini telah terjebak

pada konsep hukum para profesional yang disebut “lawyer’s law, “law for the

lawyers” atau “law for the profesionals”. Konsep hukum ini lahir dari pemikiran

kaum positivis, yang hanya mau mengakui kebenaran itu pada hal-hal yang pasti,

bisa dibuktikan dan bisa diterima akal (logika), sebaliknya semua hal-hal yang

serba metafisik dan teologis dinafikan. Konsep hukum ini mulai dikenal sekitar

abad 18, dan kini telah merambah dan mendominasi perkembangan hukum

seluruh dunia (termasuk Indonesia). Sedemikian kuatnya dominasi aliran

positivisme ini, sehingga seolah-olah tidak ada hukum (perundang-undangan) di

luar yang telah dipositifkan itu. Hukum positif (tertulis dan terkodifikasi)

dipandang sebagai ciri hukun modern, inilah yang disebut hukum negara yang

dalam tatanan yang lebih besar, ini termasuk ke dalam tatanan politik.12

Bertolak dari pandangan Sampford bahwa bekerjanya hukum merupakan

suatu proses sosial dan lebih khusus lagi adalah proses interaksi antara orang-

10Satjipto Raharjo, “Supremasi Hukum Yang Benar”. Kompas, 6 Juli 2002.

11Wukir Prayitno, op.cit. hlm. 39.

12Baca: Satjipto raharjo, 2000, Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidak-teraturan. Fakultas

Hukum Undip, Semarang. hlm. 7-8.

orang atau aktor-aktor hukum, masyarakat yang bertindak selaku pengawas,

pengontrol dan juga korban. Proses sosial merupakan pengaruh timbal balik antara

berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Dalam proses sosial tersebut, interaksi

sosial merupakan bentuk utamanya.13

Dalam interaksi sosial terkandung makna tentang kontak secara timbal balik

atau inter-simulasi dan respon individu-individu dan kelompok-kelompok. Kontak

pada dasarnya merupakan aksi dari individu atau kelompok dan mempunyai

makna bagi pelakunya, yang kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok

lain.14

Komunikasi muncul setelah kontak berlangsung, sehingga terjadinya kontak

belum berarti telah ada komunikasi. Komunikasi timbul setelah apabila seseorang

individu memberi tafsiran pada perilaku orang lain. Dengan tafsiran tadi

seseorang mewujudkannya dalam perilaku, dimana perilaku tersebut merupakan

reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain itu. Dari

penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa syarat terjadinya interaksi adalah

kontak dan komunikasi.15

Manusia berinteraksi dengan manusia lain dengan berbagai cara termasuk

dengan simbol-simbol. Dalam konteks teori interaksionisme simbolik menurut

Helbert Blumer, interaksi dengan simbol, isyarat dan juga bahasa menunjukkan

kepada sifat kekhasannya adalah bahwa manusia saling menterjemahkan dan

saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari

13Baca: Charles Sampford, 1989, The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory, Basil

Blakwell, khususnya pada bab terakhir.

14Soeleman B. Taneka, 1993, Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi

Pembangunan. Raja-Garfindo Persada, Jakarta, hlm. 109-110.

15Ibid, hlm. 111-112

tindakan seseorang terhadap orang lain tetapi didasarkan pada “makna” yang

diberikan terhadap tindakan orang lain itu.16

Interkasi sosial adalah sebuah interkasi antar pelaku dan bukan antar faktorfaktor

yang menghubungkan mereka atau yang membuat mereka berinteraksi.

Teori interaksi simbolik melihat pentingnya interaksi sosial sebagai sebuah sarana

ataupun penyebab ekspresi tingkah laku manusia.17

Interkasi sosial tidak saja mempunyai korelasi dengan norma-norma, akan

tetapi juga dengan status, dalam arti bahwa status memberikan bentuk atau pola

interaksi. Status dikonsepsikan sebagai posisi seseorang atau sekelompok orang

dalam suatu kelompok sehubungan dengan orang lain dalam kelompok itu. Status

merekomendasikan perbedaan martabat, yang merupakan pengakuan interpersonal

yang selalu meliputi paling sedikit satu individu yaitu siapa yang menuntut dan

individu lainnya yaitu siapa yag menghormati tuntutan itu.18

Sampford dengan jeli dan lugas melancarkan kritik terhadap teori-teori

hukum yang dibangun berdasarkan konsep sistem (sistemik atau keteraturan).

Bagi dia, hukum itu tidak selalu didasarkan pada teori sistem (mengenai) hukum,

karena pada dasarnya hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat

menunjukkan adanya hubungan yang tidak simetris (asymmetries). Inilah ciri khas

dari sekalian hubungan sosial, yang dipersepsikan secara berbeda oleh para pihak.

16George Ritzer, 1985, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penyadur: Alimandan,

Rajawali, Jakarta, hlm. 61.

17H.R.Riyadi Soeprapto, 2002, Interaksionalisme Simbolik, Prespektif Sosiologi Modern, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta dan Averroes Press, Malang, hlm. 143.

18Soeleman B. taneka, op.cit. hlm. 131.

Dengan demikian apa yang dipermukaan tampak sebagai tertib, teratur, jelas dan

pasti, sebenarnya di dalamnya penuh dengan ketidakpastian.19

Pertanyaan-pertanyaan yang didasarkan pada keadaan ketidakpastian,

kekacauan atau ketidakberaturan tidak bisa dijawab secara memuaskan dengan

menggunakan pendekatan yang linier-mekanistik seperti dalam ajaran

rechtdogmatiek atau legal-positivism. Untuk menjawab persoalan-persoalan itu,

diperlukan kesediaan setiap orang untuk mau melihat dunia hukum bukan sebagai

keadaan yang serba tertib dan teratur, melainkan sebagai realitas yang serba

kacau. Dari sinilah teori kekacauan (chaos theory) sebagai bagian dari sosiologi

hukum diperlukan.

Keterbatasan dan kegagalan dogmatik hukum dalam menjelaskan berbagai

fenomena dan realistis sosial itu, tidak boleh dibiarkan. Masyarakat akan terus

menuntut adanya penjelasan dan penyesuaian yang memuaskan dan benar

terhadap persoalan-persoalan tersebut. Dengan kehadiran sosiologi hukum,

sekalian persoalan dalam masyarakat itu akan diamati, dicatat dan dijelaskan,

dalam kapasitasnya sebagai pengamat dan teoritisi dan bukan sebagai partisipan.

II. Tantangan Intern Sosiologi Hukum

Dalam pandangan para sosiolog Barat, basis intelektual sosiologi hukum

diletakkan pada hukum alam. Hal itu terjadi karena teori tersebut dapat

diibaratkan menjadi “jangkar” dari hukum modern yang semakin menjadi

bangunan yang artifisial dan teknologis. Teori hukum alam selalu menuntun

19Charles Sampford, op.cit. hlm. 160.

kembali sekalian wacana dan institusi hukum kepada basisnya yang asli, yaitu

dunia, manusia dan masyarakat. Dia lebih memilih melakukan pencarian keadilan

secara otentik daripada terlibat ke dalam wacana hukum positif yang

berkonsentrasi kepada bentuk, prosedur serta proses formal dari hukum.

Kebenaran hukum tidak dapat dimonopoli atas nama otoritas para pembuatnya,

seperti pada aliran positivisme, melainkan kepada asalnya yang otentik. Kapanpun

hukum tetap dilihat sebagai asosiasi manusia yang asli, bukan yang lain. Asosiasi

yang otentik itu tidak dapat mati, melainkan akan selalu mengikuti perkembangan

dan perubahan hukum sehingga hukum akan tetap memiliki dimensi-dimensi

manusia dan masyarakat. Niklas Luhman, sebagaiman dikutip dalam Satjipto

Raharjo menyatakan :”….”In the thought of natural law, life together in human

society ap-peared to partray not just an abstract norma-tive ought from with

arbitrary content, norm simply the functional indispensability of norm, but also

norms with a determinate content which lay claim seemingly origin and

truth…”.20

Dalam pikiran seperti itu, maka perkembangan hukum pada hakikatnya

adalah menarik dan mengkongkretkan substansi hukum alam ke dalam hukum

positif. Ia merupakan sekularisasi hukum alam dan menjadikan hukum alam hadir

secara temporer dalam masyarakat. Dikatakan pula oleh Niklas Luhman, bahwa

:”…evolutionary thought offers the possibility of relativisation, secularisation and

temporalysation of natural law…”.21

20Baca: Satjipto Raharjo, 2002, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah University Press. Surakarta.

hlm. 12.

21Satjipto Raharjo, Sosiologi….Ibid, hlm. 13.

Hukum alam itu boleh diibaratkan ruh yang sulit menemukan pemadanan

dalam hukum. Seperti dikatakan oleh Wolfgang Friedman, “ The history of

natural law is a tale of the search of mankind for absolute justice and its

failure”.22 Hukum alam selalu membayangi hukum positif sebagai kekuatan

pendorong ke arah pencapaian ideal keadilan. Dalam kaitan ini, Friedman

mengatakan :”Again and again, in the course of the last 2.500 years, the idea of

natural law has appeared, in some form or other, as on expression of the aerach

an ideal higher than positive law”.23 Peranan hukum alam yang demikian itu

menyebabkan ketegangan yang tidak pernah dapat dihapuskan antara hukum

dengan kehendak masyarakat tentang bagaimana seharusnya hukum itu bekerja.

Hukum alam tidak dapat dilihat sebagai suatu norma yang absolut dan

tidak berubah. Seperti dikatakan diatas, ia mencerminkan perjuangan manusia

untuk mencari keadilan, suatu yang mungkin tidak pernah ditemukan secara

sempurna di dunia ini. Norma hukum alam, kalau boleh disebut demikian,

berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan cita-cita keadilan yang wujudnya

berubah-ubah dari masa ke masa. Dengan demikian, sesungguhnya keadilan

merupakan suatu ideal yang isi kongkritnya ditemukan oleh keadaan dan

pemikiran jamannya.

Dari penjelasan di atas, apa yang hendak diutarakan sebagai esensi hukum

alam sebagai basis sosiologi adalah bahwa hukum itu sepenuhnya merupakan

produk dari masyarakatnya yang tidak mudah untuk direduksi ke dalam peraturan

perundangan. Sumber besar hukum alam terhadap sosiologi hukum terletak pada

22Wolfgang Friedman, 1953, Legal Theory, London; Steven and sons. P.2.

23Wolfgang Friedman, ibid.

pembebasannya dari hukum positif. Sosiologi hukum mewarisi peran pembebasan

itu, oleh karena itu ia selalu mengkaitkan pembicaraan mengenai hukum kepada

basis hukum tersebut, baik itu berupa perilaku manusia maupun lingkungan sosial.

Sekalian dengan basisnya yakni hukum alam, sosiologi hukum akan

menghadapi tantangan intern, utamanya pada soal sekularisasi hukum. Secara

khusus bentuk tantangan itu dapat disimak dari pandangan golongan religius yang

senantias mengakui keberadaan hukum buatan manusia, akan tetapi ditempatkan

dalam kerangka atau bersumber pada tatanan (hukum) di bawah titah sang

pencipta, keyakinan itu akan membawa pada kesadaran untuk menyatukannya,

sehingga ketika dihadapkan diantara dua hukum, yaitu hukum manusia ataukah

hukum sang pencipta.

Golongan religius, memandang hukum alam sebagai hukum yang

bersumber pada sang pencipta. Di luar itu maka hukum alam yang sekuler

dipandang sebagai sesat. Tidak perduli apakah hukum alam itu sudah

diundangankan oleh pemerintah yang sah dan melalui prosedur yang sah pula,

ataukah hukum alam itu berupa perilaku manusia dan lingkungan sosialnya, selalu

keberadaannya mengesampingkan sang pencipta, maka hukum itu dipandang

sesat.

Untuk menjelaskan pandangan golongan religius ini, akan dicoba

memberikan contoh kasus. Ketika banyak terjadi perkosaan pada perempuan di

Indonesia, seorang Menteri Wanita pada saat itu berapi-api mendesak agar para

hakim menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku pemerkosaan.

Bahkan direkomendasikan untuk sebaiknya dihukum mati saja. Pertimbangan

sangat logis, karena pemerkosa telah menghancurkan masa depan korbannya,

serta meninggalkan trauma seumur hidupnya. Dalam hal ini hukum diseret untuk

lebih berpihak kepada korban pemerkosaan. Untuk itu hukuman yang dijatuhkan

harus seberat-beratnya, setimpal dengan derita yang dialami korbannya.

Sebaliknya, menurut keluarga pelaku, hukuman mati merupakan

kedzaliman karena menurut hasil penelitian perkosaan itu kebanyakan terjadi pada

orang yang sudah saling kenal. Bahkan separuhnya terjadi atas saling suka, karena

keduanya sudah terjalin asmara cinta (pacaran). Biasanya pihak perempuan

mengajukan ke pengadilan setelah pihak laki–laki tidak ingin melanjutkannya

sampai ke pelaminan.

Bagi hakim, pembuktian tentang terjadinya perkosaan itu bukan pekerjaan

ringan, sebab pihak pelaku selalu mengaku bahwa hubungannya itu atas dasar

saling suka. Dengan demikian untuk menjatuhkan hukuman yang berat sulit.

Disinilah letak keterbatasan manusia, selagi manusia masih bernama manusia ia

tidak bisa lepas dari subjektivitasnya. Ketika menjadi korban atau pembela

korban, maka perasaan subjektivitasnya membela mati-matian dan mengutuk

habis-habisan pelakunya. Akan tetapi, jika dia menjadi keluarga pelaku atau

pembela pelaku kejahatan, ia berusaha sekuat tenaga untuk meringankan

hukuman, bahkan kalau bisa membebaskannya sama sekali.

Contoh kasus di atas secara jelas memberikan gambaran bahwa

sekularisasi hukum cenderung menyesatkan. Masyarakat akan mengutuk habishabisan

terhadap penyelesaian perkara perkosaan yang semata-mata berdasarkan

logika, dengan pendekatan linier-mekanistik. Cara-cara pengadilan seperti itu,

dalam banyak pengalaman lebih menunjukkan ketidakberdayaan hakim

mengungkap kasus yang bersangkutan secara detail, sehingga memunculkan

keputusan yang formalistis. Kenyataan ini bisa terjadi karena standar moral yang

berlaku didalam proses peradilan sudah bergeser. Ukuran baik buruk telah

mengalami distorsi sehubungan dengan semakin tingginya tuntutan hawa nafsu,

sehingga bisa mengubah segalanya.

Jika standar moral berubah, secara otomatis hukumpun harus diubah atau

harus melakukan penyesuaian diri, inilah hukum produk manusia setiap saat dapat

dibuat atau ditafsirkan berbeda sesuai dengan keinginan hawa nafsu penggunanya,

dan tidak lain mereka itu adalah yang berkuasa atas hukum itu.

Kritik lain yang harus disampaikan kepada hukum alam bahwa pendapat

mayoritas dalam masyarakat, juga bukan jaminan kebenaran. Menjadikan

mayoritas suara anggota masyarakat sebagai ukuran kebenaran terbukti bisa

merupakan refleksi dari penindasan mayoritas atas minoritas. Sebagai contoh,

bahwa dalam komunitas koruptor, melakukan manipulasi data untuk

pembengkakan anggaran adalah hal yang wajar. Dengan begitu, tidak perlu

dipandang sebagai melanggar hukum. Apabila perilaku seperti itu secara

sosiologis dianggap benar, sudah tentu kecenderungan kehidupan di kemudian

hari akan semakin banyak koruptor baru.

Bagi penganut hukum religius, biarpun semua masyarakat menghendaki

pelegalan judi, prostitusi, manipulasi, bagaimanapun hukum tak bisa diubah,

sampai kapanpun tidak akan ada pemutihan kejahatan. Dengan kata lain, sampai

kapanpun dan dalam kondisi apapun hukum tidak bisa ditawar-tawar dan tidak

bisa ditafsirkan secara kontekstual.

Sosiologi hukum yang berbasis hukum alam menekankan peranannya

sebagai pengamat dan penjelas terhadap fenomena dan realitas sosial, walaupun

dalam perkembangannya ada keinginan agar disiplin ini juga digunakan sebagai

basis penyelesaian perkara. Berbeda dengan peranan yang demikian, penganut

sosiologi hukum yang berbasis moral menempatkan hukum tidak sekedar alat

untuk mendapatkan keadilan, tetapi juga sebagai alat pendidikan. Sekalian dengan

fungsi edukatifnya itu, maka dalam proses hukum selalu melibatkan masyarakat

secara transparan, termasuk dalam penerapan hukumnya maupun pemberian

sangsi hukum. Melalui proses sosial itu diharapkan tumbuh kesadaran hukum

bahwa setiap kejahatan akan berakibat fatal bagi pelakunya. Dengan kesadaran

yang diperoleh melalui penjelasan dan pengalaman atau penglihatan langsung,

maka masyarakat tidak akan mencoba-coba berbuat kejahatan.

Dari uraian di atas, secara singkat ingin ditegaskan bahwa pembicaraan

hukum yang berbasis pada hukum positif. Telah diupayakan pembebasannya oleh

sosiologi hukum yang berbasis hukum alam, yaitu dengan menfokuskan

perhatiannya pada perilaku manusia dan lingkungan sosial. Keterbatasan sosiolgi

hukum yang demikian itu berhubungan dengan sifat dan hakikat manusia itu

sendiri, yang dalam dirinya melekat hawa nafsu. Pada saat hawa nafsu ini

menguasai dirinya sehingga moralitas tersampingkan, maka sosiologi hukum pun

akan terseret pada kehendak hawa nafsu tersebut sehingga tersesat dari kebenaran

yang hakiki. Oleh sebab itu, dimensi moralitas harus dijadikan sebagai basis

dalam sosiologi hukum melengkapi basis hukum alam yang telah ada sebelumnya.

III. Moralitas dan Re-Interpretasi Hukum

Telah dikemukakan bahwa sosiologi hukum yang berbasis moralitas,

menempatkan fungsi edukatif/pendidikan hukum sebagai bagian penting dari

proses mewujudkan kedamaian masyarakat yang terbebaskan dari segala bentuk

kejahatan. Dalam perkembangan zaman yang terus berubah, pendidikan hukum

yang terlalu bersandar pada dogmatik hukum, akan mengakibatkan matinya

motivasi untuk mengubah keadaan. Padahal keseluruhan ilmu hukum selalu

mengalami pergeseran garis keilmuannya, artinya hukum dari waktu ke waktu

selalu mengalami perubahan, baik dalam teks maupun penafsirannya.

Kembali pada pandangan golongan religius, hukum dogmatik itu memang

ada dan harus ditaati. Bagi muslim misalnya, ketauhidan ataupun apa yang mereka

kategorikan sebagai dalil qoth’i, memang ada dan dipatuhi. Biasanya dalil-dalil ini

termaktub dalam ayat-ayat mukamad, seperti soal warisan atau perkawinan. Di

luar hal-hal itu, hukum-hukum sang pencipta terbuka untuk ditafsirkan secara

kontekstual, asal tidak keluar dari bingkai ketauhidan tadi. Di sinilah, manusia

dengan kelebihannya dari mahluk lain yang berupa akal, diwajibkan kreatif

menemukan hukum-hukum sang pencipta melalui tafsir-tafsirnya yang

kontekstual itu.

Al-Asmawi, mantan ketua MA Mesir, menyatakan bahwa selama sebuah

diktum hukum pidana publik mengandung arti cegahan dan hukuman, maka ia

dapat disamakan dengan diktum hukum pidana sang pencipta, kesimpulannya, apa

yang dikemukakan itu adalah proses re-interpretasi dari hukum sang pencipta.

Namun, yang tak dapat dipersoalkan adalah prinsip-prinsipnya, sedangkan

rinciannya adalah bagian dari proses re-interpretasi itu sendiri. Inilah sudut

pandang yang sesuai dengan sosiologi hukum yang berbasis moral, dengan begitu,

prinsip dogmatik hukum baru berjalan seiring dengan sosiologi hukum dalam

kendaraan yang sama.

Proses re-interpretasi hukum dogmatik melalui sosiologi hukum yang

berbasis moralitas harus menjadi bagian dari proses pendidikan hukum itu sendiri.

Walau demikian harus disadari khususnya bagi bangsa Indonesia, re-interpretasi

hukum hukum tidak mudah di lakukan. Persoalannya terpulang pada dua hal,

Pertama, pendidikan hukum dogmatik selama ini telah mengakar begitu kuat,

baik dalam pendidikan formal maupun non formal sehingga masyarakat tidak

sedikit yang telah terjebak dalam pemikiran bahwa tiada hukum kecuali apa yang

telah didogmakan itu. Kedua, karena pendidikan hukum itu sendiri cenderung

kepada pemantapan ajaran, dan dengan begitu upaya pencarian, pembebasan dan

pencerahan sering ditabukan.

IV. Penutup

Apapun hambatannya, secara sosiologi proses re-interpretasi hukum itu

berjalan terus. Kepatuhan dan ketaatan pada prinsip-prinsip hukum saang

pencipta, seharusnya semakin menguat dari waktu ke waktu sebagai bukti

keberhasilan pendidikan hukum. Bentuk kepatuhan itu secara kreatif ditunjukkan

dengan berbagai bentuk tafsir ulang terhadap hukum buatan manusia.

Kecenderungan seperti ini harus trus didorong sehingga akan terlihat dengan jelas,

adanya stabilitas dan dinamika hukum. Pada satu sisi stabilitas hukum diletakkan

pada dogmatik hukum yang mengedepankan prinsip-prinsip universal dari Sang

Pencipta, sementara itu dinamika hukum diletakkan pada sosiologi hukum yang

berbasi pada moral, denagan adanya kreativitas re-interpretasi hukum positif.

Komplementaritas antara dogmatik hukum dengan sosiologi hukum itulah yang

bisa menjamin terwujudnya kedamaian hidup yang dinamis.

Sumber :

http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&q=JOURNAL+HUKUM+EKONOMI&oq=JOURNAL+HUKUM+EKONOMI&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=e&gs_upl=43370l54799l0l29l29l4l6l1l1l664l6808l2.1.6.4.1.5&fp=141010c178f24899&biw=1024&bih=555

Peranan Hukum Dalam Ekonomi Pasar : Studi Kasus Indonesia Oleh: Ditha Wiradiputra

Pendahuluan

Runtuhnya Komunisme di Uni Sovyet dan Eropa Timur tahun 1980-an menjadi salah satu perubahan penting di dunia selama setengah abad ini. Dimana Negara-negara tersebut sebelumnya mempercayai bahwa perencanaan yang terpusat oleh Pemerintah dalam perekonomian adalah yang terbaik. Sehingga Pemerintahlah yang kemudian dipercaya untuk memutuskan barang dan jasa yang akan dihasilkan dan yang akan mengkonsumsinya di dalam perekonomian. Dimana hal ini didasarkan atas teori yang mengatakan bahwa pemerintah dapat mengorganisasikan suatu perekonomian agar kemakmuran suatu negara dapat tercapai.[1]

Akhirnya, kebanyakan negara yang semula menganut perekonomian yang terpusat (tersentralisasi) mulai meninggalkan sistem tersebut, dan mulai mencoba mengembangkan perekonomian pasar. Dimana dalam sebuah perekonomian pasar (market economy), keputusan-keputusan yang tersentralisasi pada Pemerintah digantikan oleh keputusan dari jutaan perusahaan dan rumah tangga. Perusahaan memutuskan siapa yang akan diperkerjakan dan barang yang akan dihasilkan, kemudian rumah tangga menentukan akan kerja diperusahaan mana, dan akan membeli apa dengan pendapatan yang mereka miliki. Perusahaan dan rumah tangga akan saling berinteraksi di pasar, dimana harga dan kepentingan pribadi memandu keputusan-keputusan yang mereka buat.[2]

Inti dari ekonomi pasar adalah terjadinya desentralisasi keputusan berkaitan dengan ”apa”, ”berapa banyak”, dan ”cara” proses produksi. Setiap individu diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan. Hal ini juga berarti bahwa di dalam mekanisme ekonomi pasar terdapat cukup banyak individu yang independen baik dari sisi produsen maupun dari sisi konsumen.[3]

Lebih lanjut pada ekonomi pasar bagi sebagian kalangan dipercaya dapat membawa perekonomian kearah yang lebih efesien, dimana sumber daya yang ada dalam perekonomian dapat termanfaatkan secara lebih optimal, dan juga tidak diperlukan adanya perencanaan dan pengawasan dari pihak manapun. Atau dengan kata lain ”serahkan saja semuanya kepada pasar,” dan suatu invisible hand yang nantinya akan membawa perekonomian kearah keseimbangan, dan dalam posisi keseimbangan, sumber daya yang ada dalam perekonomian dimanfaatkan secara lebih maksimal.[4]

Kemudian hampir sebagian besar negara berkembang, pada dekade 1980-an dan 1990-an dengan kecepatan yang berbeda-beda, mulai bergerak menuju sistem perekonomian pasar. Meskipun kemungkinan sebagian negara tersebut melakukan hal itu atas anjuran Bank Dunia, yang sering menjadikannya syarat dalam pemberian bantuan-bantunannya. Dan tampaknya telah muncul semacam konsensus bahwa peran aktif pemerintah dalam perekonomian perlu dikurangi, dan pasar perlu diberikan keluluasaan lebih besar demi tumbuhnya perekonomian yang lebih efesien.[5]

Selanjutnya sebagian besar negara berkembang berharap dengan mereka menerapkan perekonomian pasar, dan mulai mengurangi banyaknya campur tangan pemerintah, dapat lebih membawa mereka kearah kemajuan seperti yang dinikmati oleh negara-negara barat sekarang ini, yaitu kesejahteraan ekonomi.

Namun kenyataannya hal di atas tidak seperti yang semudah dibayangkan oleh negara-negara tersebut, karena efektifitas pasar memerlukan adanya dukungan institusional, kultural dan perangkat hukum tertentu, yang kebanyakan tidak atau belum dimiliki oleh negara-negara berkembang. Dibanyak negara berkembang, perangkat hukum dan institusionalnya, kalaupun ada masih sangat lemah guna mendukung beroperasinya ekonomi pasar secara efektif dan efesien. Tanpa adanya sistem hukum yang mapan, misalnya segala kontrak dan perjanjian bisnis hanya akan tinggal diatas kertas; hak cipta hanya sebuah buah bibir; dan kurs atau mata uangpun bisa berubah kapan saja. Dimana situasi kepastian hukum begitu minim, jelaslah bisnis tidak akan berkembang begitu baik.[6]

Belum lagi ternyata sesungguhnya perekonomian pasar jauh dari sempurna, dimana sulitnya mendapatkan informasi pasar yang mencukupi bagi konsumen maupun produsen mengenai harga, kuantitas, dan kualitas produk serta sumber, dan terkadang untuk mendapatkan suatu informasi diperlukan biaya yang tinggi, ditambah keberadaan skala ekonomi diberbagai sektor utama perekonomian menciptakan hambatan masuk (entry barrier) bagi pelaku usaha yang ingin berusaha pada sektor yang sama. Sehingga pada gilirannya hal diatas mengakibatkan alokasi sumber daya yang tidak tepat, dan hal ini merupakan yang tidak diharapkan oleh negara-negara tersebut ketika mereka mulai menerapkan ekonomi pasar di negara mereka.

Dan ketika negara-negara tersebut menerapkan perekonomian pasar sebagai sistem perekonomian mereka, ternyata yang didapatkan oleh mereka justru ketidak sempurnaan pasar (imperfect market), yang dikhawatirkan akan membawa negara-negara tersebut kearah jebakan keterbelakangan.

Sebenarnya salah satu sumber permasalah utama tidak tercapainya tujuan negara-negara tersebut di atas dikarenakan pasar dan mekanisme pasar bukan ”segala-galanya”, atau merupakan ”invisible hand” yang selalu mampu mengendalikan kekacauan pasar ke arah keseimbangan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ekonom kelembagaan (institutional economist).[7]

Selanjutnya pemikir ilmu ekonomi klasik dan neo klasik mengasumsikan dalam perekonomian ”tidak ada biaya transaksi” (zero transaction cost) dan rasionalitas instrumental (instrumental rationality). Dan implikasinya, setiap individu diandaikan bekerja hanya menurut insentif ekonomi, tanpa meperdulikan oleh beragam aspek, misalnya sosial budaya, politik, hukum, dan sebagainya. Dan bagi ekonom kelembagaan dianggap tidak relistis.[8]

Padahal kenyataannya menurut para ekonom kelembagaan kegiatan perkonomian sangat dipengaruhi oleh tata letak antar pelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/komunitas (terori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan), dan lain-lain. Intinya, selalu ada insentif bagi individu untuk berprilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan kelembagan non pasar untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan mendesain aturan main/kelembagaan (institutions). Pada level makro, kelembagaan tersebut berisi seperangkat aturan politik, sosial dan hukum yang memapankan kegiatan produksi, pertukaran dan distribusi. Dan pada level mikro, kelembagaan berisi masalah tata kelola aturan main agar pertukaran antar unit ekonomi dapat berlangsung, baik lewat cara kerjasama maupun kompetisi.[9]

Dan merujuk pada pandangan aliran ekonomi neoklasik menganggap pasar berjalan secara sempurna tanpa biaya apapun (costless) karena pembeli (consumers) memiliki informasi yang sempurna dan penjual (producers) saling berkompetisi menghasilkan biaya yang rendah. Akan tetapi pada kenyataannya faktanya adalah sebaliknya, dimana informasi, kompetisi, sistem kontrak, dan proses jual beli dapat sangat asimetris. Inilah yang kemudian menimbulkan biaya transaksi[10] dan menyebabkan inefesiensi di dalam perekonomian.

Peranan Hukum Dalam Ekonomi Pasar 

Indonesia juga mengalami seperti yang dialami oleh sebagian besar negara berkembang lainnya, meskipun tidak secara tegas pemerintah menyatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu ”penganut” sistem ekonomi pasar, sesungguhnya Indonesia sudah mulai menerapkan sitem ekonomi ini untuk memandu perekonomiannya, sejak terlibat dalam organisasi-organisasi perdagangan dunia baik secara regional maupun multilateral seperti GATT, AFTA, WTO, dan lain-lain.

Reorientasi sistem ekonomi ke arah ekonomi pasar juga sebenarnya telah dilakukan sejak diluncurkannya kebijaksanaan-kebijaksanaan deregulasi pada tahun 1983. Dimana  kebijaksanaan deregulasi tersebut bertujuan untuk memperkuat berkerjanya ekonomi pasar di Indonesia. Dalam hal ini Pemerintah mulai mengarahkan pengalokasian segala sumber daya dan harga menurut keinginan dan kehendak pasar.[11] Bahkan lebih jauh menurut Normin S. Pakpahan, selama tiga dasawarsa sejak Pelita I sesungguhnya Indonesia telah menyelenggarakan ekonomi pasar.[12]

Dan kemudian yang terjadi pada sebagian besar negara berkembang ternyata menimpa juga pada Indonesia, dimana sistem ekonomi pasar yang di adopsi Indonesia tidak dapat berkerja secara maksimal seperti yang diharapkan sebelumnya,  hal itu dikarenakan banyaknya kendala internal yang ada pada Indonesia sendiri, yang kemudian membuat perekonomian pasar tidak bisa berjalan secara baik. Sistem ekonomi pasar yang diharapkan dapat menyehatkan perekonomian Indonesia yang terjadi justru sebaliknya sistem ekonomi pasar malahan menyuburkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat  di dalam pasar, dan menyebabkan pasar menjadi semakin tidak efesien.

Merujuk pada pandangan aliran ekonomi neoklasik menganggap pasar berjalan secara sempurna tanpa biaya apapun (costless) karena pembeli (consumers) memiliki informasi yang sempurna dan penjual (producers) saling berkompetisi menghasilkan biaya yang rendah. Akan tetapi pada kenyataannya faktanya adalah sebaliknya, dimana informasi, kompetisi, sistem kontrak, dan proses jual beli dapat sangat asimetris.

Tidak berfungsinya sistem ekonomi pasar, juga disebabkan Indonesia sebelumnya tidak tersedia aturan main atau kelembagaan terlebih dahulu di dalam pasar, yang akan mengarahkan perilaku-perilaku pelaku ekonomi di dalam pasar, agar mereka tidak berperilaku menyimpang di dalam pasar, dengan berusaha menghindari terjadinya persaingan yang sehat di antara pelaku ekonomi, dengan maksud agar mereka dapat mengeksploitasi surplus konsumen sebanyak-banyaknya dan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.

Salah satu kelembagaan non pasar yang diharapkan dapat melindungi pasar agar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung adalah melalui adanya kelembagaan hukum ekonomi yang kuat. Ketiadaan kelembagaan hukum ekonomi yang kuat diduga sebagai penyebab ekonomi pasar tidak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak.

Kelembagaan hukum ekonomi yang kuat jika merujuk kepada pendapat dari Prof. Erman Rajagukguk ialah kelembagaan hukum ekonomi yang lebih kurang mampu menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”.[13]  Selanjutnya dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.[14]

Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.[15]  Dan yang tidak kalah penting, jika sedikit mengutip pendapat Prof. Charles Himawan bahwa adanya badan peradilan yang andal (reliable judiciary) juga sangat menentukan bagi proses hukum terhadap sengketa-sengkata bisnis yang dihadapi oleh pelaku ekonomi.[16]

Sedangkan kelembagaan hukum ekonomi yang ada pada waktu ketika Indonesia mulai menerapkan sistem ekonomi pasar, jika merujuk kepada pendapat dari Prof. Hikmahanto Juwana, telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada.[17] Sehingga perlu dilakukan penyesuaian kelembagaan hukum ekonomi yang ada agar dapat mendukung berkerjanya ekonomi pasar di Indonesia. Dan penyesuaian kelembagaan hukum ekonomi ini dilakukan dengan cara salah satunya melalui proses transplantasi hukum dari Amerika  Serikat dan Eropa[18] ke dalam kelembagaan hukum ekonomi Indonesia.

Dengan proses transplantasi hukum ini diharapkan dapat membuat kelembagaan hukum ekonomi yang ada di Indonesia dapat menjadi lebih modern, dan dapat lebih mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masa kini yang terkait dengan aktifitas ekonomi yang belum bisa dipenuhi oleh kelembagaan hukum ekonomi yang ada di Indonesia.

Kemudian jika merujuk kepada pendapat Lawrence Friedman mengenai tiga unsur sistem hukum yaitu struktur, substansi dan budaya hukum apabila dikaitkan dengan kelembagaan hukum ekonomi. Maka struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia misalnya, jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum, maka termasuk didalamnya struktur institusi-institusi penegakkan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.[19]

Dan bila kita berbicara mengenai struktur institusi penegakkan hukum yang ada pada waktu ketika Indonesia mulai menerapkan ekonomi pasarnya, masih belum begitu bersahabat dengan pasar (market friendly) atau dapat diartikan struktur institusi penegakkan hukumnya belum dapat mendukung berjalannya aktfitas ekonomi secara baik. Hal ini dapat dilihat dari proses hukum yang berlarut-larut terhadap suatu kasus yang membuat hilangnya kepastian hukum dalam proses penegakkan hukum yang ada, belum lagi hasil dari proses penegakkan hukum yang ada belum bisa menjamin pihak yang benar yang akan menang. Dan hal inilah yang kemudian membuat institusi penegakkan hukum tidak bisa diharapkan terlalu banyak dapat menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi diantara pelaku ekonomi di dalam pasar dengan baik. Sehingga tidak heran kalangan pelaku ekonomi di Indonesia lebih memilih menyelesaikan sengketa bisnis mereka dengan menggunakan lembaga arbitrase dibandingkan mereka harus mempercayakan penyelesaian sengketa bisnisnya pada pengadilan di Indonesia.

Selanjutnya mengenai substansi hukum, masih merujuk kepada pendapat Friedman,  adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem. Dan substansi juga bisa berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka hasilkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang.[20]

Dan pada waktu Indonesia menerapkan sistem ekonomi pasar, substansi hukum ekonomi yang harus ada sebagai prasyarat yang dapat mendukung bisa berjalan atau tidaknya ekonomi pasar belum tersedia pada waktu itu, yaitu antara lain memiliki hukum persaingan usaha. Hukum persaingan usaha adalah salah satu aturan hukum yang harus dimiliki oleh setiap negara jika mereka menerapkan sitem ekonomi pasar sebagai sistem ekonominya. Dan Hukum persaingan usaha merupakan salah satu instrumen yang dipercaya mampu untuk memperbaiki kegagalan pasar yang diakibatkan dari persaingan yang tidak sempurna di dalam pasar.[21]

Dan kemudian yang terjadi akibat Indonesia belum memiliki hukum persaingan usaha adalah sistem ekonomi pasar yang ada malahan menghasikan maraknya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di dalam pasar, dan pasar yang diharapkan dapat menghasilkan pemanfaatan sumberdaya yang lebih maksimal dan efesien yang terjadi justru sebaliknya, perekonomian Indonesia menjadi begitu tidak efesien dan kehilangan daya saingnya dengan negara lain.

Serta hukum kepailitan yang berlaku pada waktu itu yang masih merupakan warisan masa kolonial juga berkontribusi bagi tidak terlindunginya pelaku ekonomi dari perilaku pelaku ekonomi yang seharusnya tidak layak lagi menjalankan usahanya tetapi karena hukum kepailitan yang ada belum baik serta proses peneggakannya yang masih memakan waktu yang lama membuat banyak pelaku ekonomi menjadi korban akibat dari ulah sekelompok pelaku ekonomi yang seharusnya tidak layak lagi untuk melanjutkan usahanya di dalam pasar.

Lebih lanjut mengenai budaya hukum menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Atau dengan kata lain jika menurut pendapat Prof Achmad Ali, budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari dan disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, maka sistem hukum itu tidak berdaya.[22]

Rendahnya budaya hukum yang berlaku di Indonesia juga berkontribusi bagi tidak berfungsinya ekonomi pasar secara baik. Kurang menghargai kontrak-kontrak yang sudah dibuat di dalam bisnis merupakan salah satu bentuk manifestasi budaya hukum yang tidak baik.

Dan belum terbangunnya budaya hukum yang baik juga cukup berkontribusi bagi tidak berfungsinya beberapa kelembagaan hukum yang ditransplantasi dari negara-negara maju di Indonesia, karena budaya hukum yang ada begitu berbeda dengan budaya hukum negara dimana kelembagaan hukum ekonomi yang ditransplantasi itu berasal.

Dan sedikit mengutip kalimat dari Prof. Satjipto Rahardjo bahwa ekonomi kurang dapat berkerja dan melakukan perencanaan dengan baik tanpa didukung oleh tatanan normatif yang berlaku, yang tidak lain adalah hukum.[23] atau dengan kata lain tanpa adanya dukungan yang kuat dari kelembagaan hukum ekononomi yang ada sudah barang tentu sistem ekonomi pasar yang dianut oleh Indonesia tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Penutup

Agar dapat ekonomi pasar Indonesia berjalan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu dapat membuat perekonomian Indonesia menjadi lebih efesien, sangat ditentukan oleh dukungan dari kelembagaan hukum ekonomi yang kuat. Tanpa adanya dukungan dari kelembagaan hukum ekonomi yang kuat sulit bagi ekonomi pasar dapat bejalan secara baik.

Ekonomi pasar dengan kelembagaan hukum ekonomi merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, meskipun terkadang perkembangan kelembagaan hukum ekonomi selalu tertinggal dari perkembangan ekonomi pasar. Namun seharusnya kelembagaan hukum ekonomi dapat selalu mengikuti perkembangan ekonomi pasar.

Daftar Pustaka

 

Adam, Rainer, Samuel Siahaan dan A.M. Trianggraini, Persaingan dan Ekonomi Pasar di Indonesia, (Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia, 2006).

Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002)

Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Prada, 2005).

Himawan, Charles, Hukum Sebagai Panglima, Cet.1, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003).

Juwana, Hikmahanto, ” Politik Hukum UU bidang Ekonomi di Indonesia.” bahan kuliah ke-2 Aspek Hukum dalam Kebijakan Ekonomi Angkatan XV PD Program Magister Perencanaan Kebijakan Publik-FEUI.

Khemani, R. Shyam (project director), “A framework for the design and implementation of competition law and policy,” (Washington DC and Paris: World Bank, OECD, 1998).

Mankiw, N Gregory, Pengatar Ekonomi Makro, Edisi tiga, (jakarta: Salemba Empat, 2006).

Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2000).

Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, (Jakarta: Erlangga, 2003).

Pakpahan, Normin S. ”Pokok-Pokok Pikiran Kerangka Kerja Acuan Pembuatan RUU tentang Persaingan.” Dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 4 Tahun 1998.

________________ .” Rangkuman Seminar ELIPS Penemuan Hukum Persaingan: Suatu Layanan Analitik Komparatif.” Dalam jurnal Hukum Bisnis Volume 4 Tahun 1998.

Rahardjo, Satjipto, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003).

Rajagukguk, Erman. ” Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial,” Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Defenisi, Teori dan Strategi. Edisi Pertama, Jawa Timur, Bayu Media Publishing.


[1] N. Gregory Mankiw. Pengantar Ekonomi Makro, edisi tiga, (Jakarta: Salemba Empat, 2006), hal. 11.

[2] Ibid.

[3] Samuel Siahaan, “Ekonomi Pasar, Perlindungan Persaingan dan Pedoman Pelaku Usaha,” dalam buku Persaingan dan Ekonomi Pasar di Indonesia yang ditulis oleh Rainer Adam, Samuel Siahaan dan A.M. Trianggraini. Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia. Hal.43.

[4] Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Prada, 2005), hal.40.

[5] Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, (Yakarta: Erlangga, 2003), hal. 80.

[6] Ibid., hal. 81.

[7] Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2000) hal.100.

[8] Ahmad Erani Yustika. Edisi Pertama, Ekonomi Kelembagaan: Defenisi, Teori dan Strategi (Jawa Timur: Bayu Media Publishing, 2006), Hal.xi.

[9] Ibid., hal. Xii.

[10] Ibid., hal. 104.

[11] Normin S. Pakpahan, “Pokok-Pokok Pikiran Kerangka Kerja Acuan Pembuatan RUU tentang Persaingan.” Dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 4 Tahun 1998. hal.26.

[12] Normin S. Pakpahan, “Rangkuman Seminar ELIPS Penemuan Hukum Persaingan: Suatu Layanan Analitik Komparatif.” Dalam jurnal Hukum Bisnis Volume 4 Tahun 1998. hal.19.

[13] Erman Rajagukguk, “Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial,” Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Charles Himawan,”Pemulihan Ekonomi Butuh “Reliable Judiciary”. Dalam buku Hukum Sebagai Panglima. Cet.1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. hal.35.

[17] Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum UU bidang Ekonomi di Indonesia.” bahan kuliah ke-2 Aspek Hukum dalam Kebijakan Ekonomi Angkatan XV PD Program Magister Perencanaan Kebijakan Publik-FEUI. Hal.7.

[18] Ibid. hal. 9.

[19] Achmad Ali, “Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya,” Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002. hal. 7-8.

[20] Ibid. hal 8-9.

[21] R. Shyam Khemani project director, “A framework for the design and implementation of competition law and policy,” World Bank, OECD, 1998. hal.2.

[22] Ibid. hal.9.

[23] Satjipto Rahardjo, “Liberalisme, Kapitalisme, dan Hukum Indonesia,” dalam buku “Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia,” Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. hal.21.

Sumber : http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&q=JOURNAL+HUKUM+EKONOMI&oq=JOURNAL+HUKUM+EKONOMI&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=e&gs_upl=43370l54799l0l29l29l4l6l1l1l664l6808l2.1.6.4.1.5&fp=141010c178f24899&biw=1024&bih=555

ASPEK-ASPEK HUKUM KETENAGAKERJAAN DALAM PEMBANGUNAN INDUSTRI PARIWISATA SEBAGAI INDUSTRI GAYA BARU DALAM RANGKA MENCIPTAKAN LAPANGAN KERJA

Atje, Suherman, Sarinah

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaraan

Jl. Dipati Ukur 35 Bandung

ABSTRAK

Titik berat perekonomian dewasa ini telah beralih dari revolusi klasik pada jaman

revolusi industri dan industri abad ke 19 menuju kepada suatu era industri yang sana

sekali berbeda dan baru yang didasarkan kepada ilmu-ilmu yang baru.

Industri yang baru itu mempunyai dimensi-dimensi dan persepsi-persepsi yang

bervariasi pula. Salah satu dari industri gaya baru tersebut yang mampu

menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan memperluas kesempatan kerja

adalah industri pariwisata. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah

metode deskriptif dan empiris yaitu selain menggunakan bahan kepustakaan dan

peraturan-peraturan yang berlaku, juga mengadakan penelitian ke lapangan untuk

mengetahui sejauhmanakah sector pariwisata dapat menciptakan lapangan kerja.

Meskipun industri pariwisata besar sekali andilnya bagi pemerintah dalam membuka

lapangan kerja, namun berdasarkan penelitian, masih banyak kendala-kendala yang

menghambat kelancaran dunia usaha kepariwisataan baik dari masyarakat pencari

kerja maupun dari aparat pemerintah sendiri.

LEGAL ASPECT OF LABOUR LAW IN TOURISM

DEVELOPMENT AS A NEW TYPE OF INDUSTRY

IN CREATING WORK OPPORTUNITY

ABSTRACT

Recently, Indonesia ha been at the stage of taking-off to industrialization. Now, the

emphasis of economy has changed from classical industrial revolution and industry

of the 19 th century to a new and different industry based on new knowledge. This

new knowledge has variety of dimensions and perceptions. One of the new-style

industry wichhas the capacity to create quick work opportunity is tourism industries.

This research uses the descriptive and empirical method, i.e.library, and field

research in order to find out how far the tourism sector is able to create work

opportunity. Although tourism industry has contributed large opening of work

opportunity, according to this research. There are still obstacies for the smooth

operation of tourism both for those one looking for jobs and government officials.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perekonomian pasar ayng menjalankan industrilasisasi dan dalam

negara-negara berkembang, ada perbedaan politik yang tejan tentang ekonomi makro

dan kebijaksanaan social guna menjamin tenaga kerja untuk dikerjakan secara

penuh. Ini biasanya untuk menyatakan hak abstrak yang melatarbelakangi orangperorangan

yang membutuhkan Negara untuk memelihara kebijaksanaan penuh

pada tenaga kerja guna melindungi setiap tenaga kerja dalam mencari nafkah pada

suatu jabatan yang diduduki secara bebas.

Dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 disebutkan bahwa

tiap tenaga kerja bebas memilih dan atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan

kemampuannya. Kemudian pasal ini disusul dengan pasal 5 tang berbunyi :

( 1 ) Pemerintah mengatur penyediaan tenaga kerja dalam kuantitas dan kualitas

yang memadai.

( 2 ) Pemerintah mengatur penyebaran tenaga kerja sedemikian rupa sehingga

memberi dorongan kearah penyevaran tenaga kerja yang efisien dan efektif.

(3 ) Pemerintah mengatur penggunaan tenaga kerja secara penuh dan produktif

untuk mencapai kemanfaatan yang sebesar-besarnya dengan menggunakan

prinsip “tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat”

Kedua pasal tersebut di atas merupakan pelaksnaan dan penjabaran dari pasal

(27 ) ayat ( 2 ) UUD 1945, yang berbunyi bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini dapat diartikan

bahwa pekerjaan yang menjadi hak tiap-tiap warga negara tersebut, harus sesuai

dengan kemampuan pendidikan dan latihan kerja secara individual dan dengan

memperhatikan kebutuhan masyarakat. Hak untuk memperoleh pekerjaan tersebut

merupakan hak yang fundamental dari hokum ketenagakerjaan.

Karena tenaga kerja merupakan modal utama dalam pelaksanaan

pembangunan, maka sudah sewajarnya kalau perluasan kesempatan kerja dilakukan

secara menyeluruh pada semua sektor. Dalam hubungan ini program-program

pembangunan sektoral maupun regional perlu mengusahakan terciptanya perluasan

kesempatan kerja sebanyak mungkin.

Sekarang ini Indonesia sedang berada dalam era tinggal landas menuju kea

rah industrialisasi. Titik berat perekonomian dewasa ini telah beralih dari revolusi

klasik pada jaman revolusi industri dan industri abad ke 19 menuju kepada suatu

era industri yang sama sekali berbeda dan baru, yang didasarkan kepada ilmu-ilmu

yang baru, teknologi yang canggih dan cara berfikir yang sama sekali berbeda.

Industri yang baru ini mempunyai dimensi-dimensi dan persepsi-persepsi yang

bervariasi pula. Salah satu dari industri gaya baru tersebut yang mampu

menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja adalah

industri periwisata.

Pariwisata yang merupakan salah satu sector yang kompleks, dapat

menciptakan lapangan kerja baru yang memberi dampak positif pada tenaga kerja

seperti di hotel, motel, losmen, dusun wisata, atau tempat penginapan lainnya,

catering, restoran, kedai kopi, maskapai penerbangan biro perjalanan, angkutan laut,

angkutan darat yang usaha perjalanan lainnya, usaha cenderamata, kerajinan tangan

dan perdagangan, sector hiburan, di kantor-kantor pemerintah yang berkaitan ,

penterjemah, pramuwisata dan di lembaga-lembaga pendidikan pariwisata baik

yang formal maupun non formal. Karena itu sebagaimana yang tercantum dalam

GBHN, pembangunan pariwisata perlu ditingkatkan untuk memperluas kesempatan

kerja dan kesempatan berusaha. Dalam meningkatkan pembangunan pariwisata ini,

diperlukan tenaga kerja yang trampil, terdidik dan terlatih sehingga semua bidang

yang masih ditangani oleh tenaga kerja asing pendatang dapat beralih kepanfkuan

putera-putera Indonesia.

B. Identifikasi Masalah

Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas,maka penulis merasa tertarik untuk

mengidentifikasi permasalahan pada hal=hal sebagai berikut :

1. Sejauhmana perkembangan usaha kepariwisataan di provinsi Jawa Barat

dapat menampung tenaga kerja

2. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pengembangan usaha

kepariwisataan di Provinsi Jawa Barat

3. Usaha-usaha apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi

hambatan-hambatan tersebut

C. Maksud dan Tujuan penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk memperoleh gambaran yang jelas dari

masalah-masalah yang telah di identifikasi. Sedangkan tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mendapatkan masukan yang kelak dapat dijadikan sebagai bahan

pemikiran dalam mebuat perundang-undangan ketenagakerjaan yang pada saat ini

dirasakan banyak yang telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat

terutama dalam rangka pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila. Di samping itu

penelitian ini mempunyai tujuan untuk memberikan masukan kepada Pemerintah

dalam menentukan langkah-langkah dan kebijaksanaan dalam mengatasi masalah

ketenagakerjaan serta dalam perencanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja

kepariwisataan dimasa yang akan datang.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan peneltian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui seberapa banyak lapangan kerja di Provinsi jawa Barat

yang dapat diserap oleh dunia pariwisata

2. untuk memberikan masukan-masukan kepada pemerintah dalam usaha

pemerataan pendapatan dalam upaya mewujudkan keadilan social sesuai

dengan UUD 1945

3. Untuk memberikan masukan kepada pembuat undang-undang dalamj

masalah ketenagakerjaan

4. untuk dijadikan sebagai bahan bagi penelitian selanjutnya

E. Metode penelitian

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan

empiris yaitu selain menggunakan bahan kepustakaan dan peraturan-peraturan yang

berlaku, juga mengadakan penelitian ke lapangan untuk mengathui sejauhmanakah

sector pariwisata dapat menciptakan lapangan kerja.

TINJAUN PUSTAKA

A. Arti dan Fungsi hukum Ketenagakerjaan

1. Pengertian hukum ketenagakerjaan

Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan,

yang dimaksud dengan ketenagakerjaan itu sendiri adalah segala hal yang

berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah

masa kerja. Jadi hokum ketenagakerjaan dapat diartikan sebagai peraturanperaturan

yang mengatur tenaga kerja pada waktu sebelum selama dan

sesudah mas kerja..

2. Fungsi Hukum Ketenagakerjaan

Menurut Profesor Mochtar kusumaatmadja, fungsi hokum itu adalah sebagai

sarana pembaharuan masyarakat. Dalam rangka pembangunan, yang dimaksud

dengan sara pembaharuan itu adalah sebagai penyalur arah kegiatan manusia kea rah

yang diharapkan oleh pembangunan.

Sebagaimana halnya dengan hukum yang lain, hukum kertrnagakerjaan

mempunyai fungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang mnyalurkan arah

kegiatan manusia kea rah yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh

pembangunan ketenagakerjaan.

Pembangunan ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan

pembangunan nasional diarahkan untuk mengatur, membina dan mengawasi segala

kegiatan yang berhubungan dengan tenaga kerja sehingga dapat terpelihara adanya

ketertiban untuk mencapai keadilan. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang

dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di biodang

ketenagakerjaan itu harus memadai dan sesuai dengan laju perkembangan

pembangunan yang semakin pesat sehingga dapat mengantisipasi tuntutan

perencanaan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial dan peningkatan

perlindungan tenaga kerja.

Sebagaimana menurut fungsinya sebagai sarana pembaharuan, hukum

ketenagakerjaan merubah pula cara berfikir masyarakat yang kuno kearah cara

berfikir yang modern yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembangunan

sehingga hukum ketenagakerjaan dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat

membebaskan tenaga kerja dari perbudakan, peruluran, perhambaan, kerja paksa dan

punale sanksi, membebaskan tenaga kerja dari kehilangan pekerjaan, memberikan

kedudukan hukum yang seimbang dan kedudukan ekonomis yang layak kepada

tenaga kerja.

B. Arti dan Fungsi Industri Pariwisata

1. pengertian Industri Pariwisata

Industri pariwisata tidak sama dengan pandangan kebanyakan orang yang

beranggapan bahwa industri itu merupakan suatu bangunan pabrik dengan segala

perlengkapannya yang menggunakan mesin-mesin dalam proses produksinya.

Menurut A.G.B. Fisher1, industri pada umumnya dapat dikualifikasikan atas

tiga golongan yang penting yaitu :

– Primary industry seperti pertanian, pertambangan, peternakan, dan industri

dasar lainnya

– Secondary industry seperti manufacturing, constructions ( pembuatan

jembatan, gedung-gedung, dan perumahan lainnya )

– Tertiary industry seperti perdagangan, transportasi, akomodasi, komunikasi

dan fasilitas pelayanan lainnya

Sehubungan dengan pendapat Fisher ini, maka kepariwisataan termasuk ke

dalam kelompok Tertiary industry. Ini diperkuat dengan adanya rekomendasi dan

resolusi The United Nations Conference on International Travel and Tourism yang

diselenggarakan di Roma pada tanggal 21 Agustus-5 September 1963 yang pada

pasal 11 ayat A mengenai Tourism asa factor of economic Development yang

berbunyi : “the conference noted that tourism was important not only as source of

foreign exchange, but also as factor in the location of industry and development of

areas poor in natural resources. The influence of tourism as a TERTIERY

INDUSTRY, creating prosperity through the depelovment of communication,

transportation accommodation and other consumer services was also emphasized”

Oka A. Yoeti2 memberi rumusan industri pariwisata sebagai berikut :

“industri pariwisata adalah kumpulan dari macam-macam perusahaan yang secara

bersama menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan wisatawan pada

khususnya dan traveler pada umumnya, selama dalam perjalanannya”.

1). Oka A. Yoeti, pengantar Ilmu pariwisata, Penerbit Angkasa, Bandung, 1983 hlm. 139

2). Oka A Yoeti, op. cit, hlm. 140

Prof. V. Hunzieker dari Bern university memberi rumusan tentang industri

pariwisata sebagai berikur :

“Tourism enterprises are all business entities which, by combining various means of

production, provide goods and services of a specifically tourist nature”3

Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan tidak

diketemukan istilah industri pariwisata, melainkan istilahnya adalah usaha

pariwisata. Menurut undang-undang ini, yang dimaksud dengan usaha pariwisata itu

adalah kegiatan yang bertujuan menyelenggarakan jasa pariwisata atau menyediakan

atau mengusahakan obyek dan daya tarik wisata, usaha sarana pariwisata dan usaha

lain yang terkait di bidang tersebut. Sedang yang dimaksud dengan pariwisata itu

sendiri adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk

pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang

tersebut.

2. Fungsi industri Pariwisata

Industri pariwisata selain mempunyai fungsi yang penting untuk memperluas

dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, juga mempunyai fungsi

sebagai sarana pendorong bago pembangunan daerah, memperbesar pendapatan

nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta

memupuk rasa cinta tanah air, memperkaya kebudayaan nasional dan memantapkan

pembinaannya dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa dan mempererat

persahabatan antar bangsa. Sehubungan dengan itu, perlu adanya langkah-langkah

pengaturan yang mampu mewujudkan keterpaduan dalam kegiatan penyelenggaraan

kepariwisataan, serta memelihara kelestarian dan mendorong upaya peningkatan

mutu lingkungan hidup serta obyek dan daya tarik wisata.

C. Pentingng hukum Kepariwisataan dalam industri Pariwisata

Hukum ketenagakerjaan mempunyai peranan yang sangta penting dalam

dunia kepariwisataan, sebagaimana pentingnya tenaga kerja dalam pembangunan

nasional. Oleh karena itu diperlukan adanya hokum ketenagakerjaan yang benarbenar

merupakan hokum yang hidup di dalam masyarakat ( living law ) sehingga

tidak terjadi penghisapan manusia oleh manusia yaitu penghisapan tenaga kerja yang

ekonomis lemah oleh pihak yang ekonomis kuat yang dalam hal ini adalah

pengusaha. Karena begitu pentingnya peranan tenaga kerja dalam pembangunan

nasional, maka diperlukan upaya yang lebih memadai untuk melindungi hak dan

kepentingan tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan baik untuk dirinya

sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Untuk mengatur, membina dan

mengawasi segala kegiatan yang berhubungan dengan tenaga kerja ini, diperlukan

adanya hokum ketenagakerjaan yang benar-benar dapat mencerminkan aspirasi

tenaga kerja itu sendiri.

3 ). ibid

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan Usaha Kepariwisataan dan Jumlah Tenaga Kerja Yang

Terserap di Provinsi DT I Jawa Barat

Menurut catatan kantor Wilayah Departemen tenaga Kerja Provinsi Daerah

Tingkat I Jawa Barat, pada tahun 1995 terdapat 259.783 orang pencari kerja yang

terdiri dari 134.937 orang tenaga kerja laki-laki dan 124.826 orang tenaga kerja

wanita. Dari sekian banyak pencari kerja ini sebagian dapat disalurkan pada usaha

kepariwisataan.

Usaha kepariwisataan di Provinsi daerah Tingkat I Jawa Barat, pada tahun

1995 dapat menyerap 81.783 tenaga kerja dan pada tahun 1996 sudah mencapai

91.817 tenaga kerja. Jadi selama l tahun, jumlah tenaga kerja yang terserap pada

usaha kepariwisataan ini naik sebanyak 10. 034 orang. Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

TABEL l

PENYERAPAN TENAGA KERJA USAHA KEPARIWISATAAN SEJAWA

BARAT DARI TAHUN 1990-1996

Tahun Jumlah Tenaga kerja

1990 ……………………………………………………………………. 34.757

1991 ……………………………………………………………………. 39. 467

1992 …………………………………………………………………… 42. 258

1993 ……………………………………………………………………. 51. 023

1994 ……………………………………………………………………. 70. 184

1995 ……………………………………………………………………. 81. 783

1996 ……………………………………………………………………. 91. 817

Sumber : Dinas Pariwisata Provinsi DT I Jabar

1. Obyek Wisata

Di Provinsi jawa Barat terdapat 321 jenis obyek wisata yang terdiri dari 170

jenis obyek wisata alam, 89 jenis obyek Wisata Budaya dan 62 jenis obyek Wisata

minat Khusus. Dari sekian banyak obyek wiasat tersebut yang paling banyak

menyerap tenaga kerja adalah yang ada di Kotamadya Bogor yaitu sebanyak 585

orang tenaga kerja, yang kemudian disusul oleh Kabupaten Subang sebanyak 565

orang tenaga kerja .

2. Pramuwisata

Tenaga kerja yang menjadi pramuwisata yang terdaftar pada Dinas Pariwisata

Provinsi daerah Tingkat I Jawa Barat sampai saat penelitian ini dibuat ada 390 orang

yang terdiri dari 104 orang berstatus Madya, 221 orang berstatus Muda, 56 orang

berstatus khusus dan 9 orang tidak berstatus.

3. Kolam renang, Pemancingan, Lapangan Golf

Kolam renang yang ada di provinsi Jawa Barat sampai saat penelitian ini

dibuat, menurut data dari dinas Pariwisata Provinsi daerah Tingkat I Jawa Barat,

dapat menyerap sebanyak 681 orang tenaga kerja, kolam pemancingan 209 orang

tenaga kerja dan lapangan golf 3412 orang tenaga kerja.

4. Bar, Biliar, Mesin Ketangkasan dan Bioskop

Bar, biliar, mesin ketangkasan dan bioskop tidak kalah pentingnya dalam

menunjang kepariwisataan. Hampir di semua kabupaten dan kotamadya yang ada di

Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat terdapat usaha-usaha ini. Oleh karena itu

banyak pula tenaga kerja yang dapat diserap dalam usaha tersebut. Menurit data

yang diperoleh dari Dinas Pariwisata Provinsi daerah Tingkat I Jawa Barat, sebanyak

5.040 orang tenaga kerja dapat diserap dalam usaha-uasah bar, biliar, mesin

ketangkasan dan bioskop ini.

5. Diskotik, Karaoke, klub malam. Dan Pub

Uasah-uasah ini, di seluruh Provinsi Jawa barat dapat menyerap sebanyak

832 orang tenaga kerja. Yang paling banyak menyerap tenaga kerja dalam usahausaha

ini adalah Kabupaten Bogor yaitu sebanyak 225 orang tenaga kerja yang

kemudian disusul oleh Kotamadya Cirebon sebanyak 67 orang.

6. Biro Perjalanan umum

Sampai tahun 1997, jumlah perusahaan biro penjalanan umum yang ada di

Jawa Barat sebanyak 157 unit dengan tenaga kerja yang terserap sebanyak 956

orang. Ini berarti ada kenaikan sebanyak 85 unit dan 520 orang tenaga kerja jika

dibandingkan dengan tahun 1995. Pada tahun 1995 di Jawa Barat hanya terdapat 72

unit perusahaan biro perjalanan umum dengan tenaga kerja yang terserap sebanyak

436 orang.

7. Usaha Akomodasi

Dalam usaha akomodasi, Jawa Barat pada periode 1996/1997 dapat

menyerap tenaga kerja sebanyak 20. 564 orang yang paling banyak menyerap tenaga

kerja adalah Kotamadya Bandung yaitu sebanyak 5. 943 orang, yang kemudian

disusul oleh Kabupaten Serang sebanyak 1.417 orang.

Pada Hotel Melati yang ada di Jawa Barat, mulai dari klasifikasi Hotel Melati I s.d

III dan non-kelas yang berjumlah 247 buah hotel Melati I,262 hotel Melati II, 218

hotel Melati III dan 258 buah hotel Melati non-kelas, dapat diserap sebanyak 10.975

tenaga kerja yang terdiri dari 8.537 orang tenaga kerja laki-laki dan 2.438 orang

tenaga kerja wanita. Untuk kelas hotel Melati dan non-kelas ini, yang paling banyak

menyerap tenaga kerja adalah kotamadya Bandung yaitu sebanyak 1.870 orang

terdiri dari 1.543 orang tenaga kerja laki-laki dan 327 orang tenaga kerja wanita.

Kemudian disusul oleh Kabupaten Bogor sebanyak 1.509 orang tenaga kerja yang

terdiri dari 1.128 orang tenaga kerja laki-laki dan 381 tenaga kerja wanita. Selain

Hotel Melati, di Jawa Barat terdapat pula hotel berbintang yang dapat menyerap

banyak tenaga kerja. Jumlah hotel berbintang tersebut ada 104 buah dengan jumlah

tenaga kerja 9.832 orang yang terdiri dari 7.428 orang tenaga kerja laki-laki dan

2.404 orang tenaga kerja wanita.

8. Pondok Wisata

Di Jawa Barat terdapat 179 unit pondok wisata dengan tenaga kerja yang

terserap sebanyak 564 orang tenaga kerja laki-laki dan wanita.

9. Penginapan Remaja

Di Jawa barat terdapat 25 unit penginapan remaja yang dapat menyerap

sebanyak 555 orang tenaga kerja yang terdiri dari 409 orang laki-laki dan 146 orang

wanita. Yang paling banyak adalah di Kotamadya bandung yaitu sebanyak 18 unit

dengan tenaga kerja yang terserap sebanyak 231 orang yang terdiri dari 156 pria dan

75 orang wanita. Kalau dibandingkan dengan tahun 1995, ada kenaikan sebanyak 2

unit penginapan remaja dan 26 orang tenaga kerja yang terserap.

10. Usaha Perkemahan

Di Jawa Barat terdapat 34 unit usaha perkemahan yang dapat menyerap

tenaga kerja sebanyak 160 orang tenaga kerja yang terdiri dari 150 orang laki-laki

dan 10 orang wanita. Kalau dibandingkan dengan tahun 1995, ada kenaikan

sebanyak dua unit dan 22 orang tenaga kerja yang terserap.

11. Rumah Makan/Restoran

Yang terdaftar pada Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat

terdapat 3964 buah restoran/rumah makan dengan tenaga kerja yang terserap

sebanyak 18. 372 orang.

B. Hambatan-hambatan

Meskipun banyak tenaga kerja yang tertampung dalam lapangan-lapangan

usaha kepariwisataan, baik langsung maupun secara tidak langsung, namun di dalam

pelaksanaannya, terdapat pula hambatan-hambatan antara lain :

1. Masih adanya pandangan yang negative dari masyarakat tertentu kalau

bekerja pada usaha pariwisata terutama kalau bekerja di hotel

Terlalu banyak birokrasi yang harus ditempuh oleh para pengusaha kalau

mereka akan mendirikan suatu perusahaan.

3. Kurangnya tenaga yang professional di bidang kepariwisataan, merupakan

hambatan pula bagi pengusaha dalam memajukan perusahaannya karena

relevansi dan kualitas sebagian besar pendidikan masih kurang sesuai dengan

kebutuhan dunia kerja.

4. banyak tenaga kerja yang bergerak dibidang kepariwisataan belum

menguasai bahasa asing dengan baik, khususnya bahsa inggeris, sehingga

menghambat kelancaran komunikasi.

5. Kesadaran akan pentingnya pelatihan dan penghargaan terhadap hasil

pelatihan keahlian dan ketrampilan di kalangan masyarakat dan pengusaha

masih rendah, dan belum sepadannya penghargaan terhadap hasil pendidikan

formal, pelatihan dan pengalaman kerja.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Dari data-data hasil penelitian, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Perkembangan usaha Kepariwisataan di Provinsi daerah Tingkat I Jawa Barat

sangat besar peranannya dalam menampung tenaga kerj. Dari sekian banyak

pencari kerja, sebagian dapat disalurkan pada usaha kepariwisataan.

2. Meskipun industri pariwisata besar sekali andilnya bagi pemerintah dalam

membuka lapangan kerja, namun masih banyak kendala-kendala yang

menghambat kelancaran dunia usaha kepariwisataan baik dari masyarakat

pencari kerja maupun dari aparat pemerintah sendiri.

3. Dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut, pemerintah telah berusaha

untuk meningkatkan sumber daya manusia baik melalui jalur pendidikan

formal maupun jalur latihan kerja.

Saran

1. Diperlukan adanya koordinasi yang baik anatra para pelaku proses produksi

barang dan jasa ( pekerja, pengusaha, pemerintah ) yang berkaitan dengan

kepariwisataan.

2. Diperlukan adanya pendidikan, pembinaan, penyuluhan dan pelatihan

kepariwisataan secara berlanjut dan berkesinambungan.

3. Hendaknya pemerintah menyederhanakan birokratisasi.

sumber :

http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&q=JOURNAL+HUKUM+EKONOMI&oq=JOURNAL+HUKUM+EKONOMI&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=e&gs_upl=43370l54799l0l29l29l4l6l1l1l664l6808l2.1.6.4.1.5&fp=141010c178f24899&biw=1024&bih=555

ASPEK-ASPEK HUKUM KEUANGAN DAN PERBANKAN SUATU TINJAUAN PRAKTIS Dr. Jusuf Anwar, SH., MA

 

LOKAKARYA PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL VIII

DEPARTEMAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

DENPASAR, 14-18 JULI 2003

 

ASPEK-ASPEK HUKUM KEUANGAN DAN PERBANKAN

SUATU TINJAUAN PRAKTIS 1

Dr. Jusuf Anwar, SH., MA 2

 

A. PENDAHULUAN

Kesulitan yang menimpa perekonomian Indonesia, terutama sejak terjadinya krisis

1997 yang masih berlangsung hingga tahun ini, mungkin tidak perlu terjadi apabila

antara lain dunia usaha secara sungguh-sungguh melaksanakan prinsip-prinsip

manajemen keuangan perusahaan yang sehat yakni dengan antara lain

menyeimbangkan struktur permodalan sedemikian rupa sehingga keperluan

jangka pendek benar-benar dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan jangka

pendek, sedangkan keperluan jangka penjang dibiayai dari sumber pembiayaan

jangka panjang. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan struktur permodalan

adalah pencerminan dari perimbangan antara hutang jangka panjang dan modal

sendiri dari suatu perusahaan. Perbaikan struktur permodalan dunia usaha

merupakan keharusan untuk meningkatkan efisiensi dan memperkokoh daya

saing perusahaan dalam menghadapi persaingan yang semakin tajam terutama

dalam era globalisasi3. Upaya-upaya perbaikan dapat dilakukan salah satunya

dengan memperhatikan aspek-aspek good corporate governance, yang studi dan

risetnya makin banyak dilakukan oleh berbagai institusi baik dalam lingkungan

1 Disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII, Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional di Denpasar-Bali, 14-18 Juli 2003.

2 Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Direktur Eksekutif pada Bank

Pembangunan Asia (Asian Development Bank)

3 Jusuf Anwar, Peranan Hukum Sebagai Sarana Perdagangan Surat Berharga Jangka Panjang Dalam

Rangka Pembangunan Nasional, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,

Bandung, 2001, hlm.2.

nasional maupun internasional. Globalisasi yang ditandai dengan adanya

perapatan dunia (compression of the world) telah mengubah peta perekonomian,

politik, dan budaya. Pergerakan barang dan jasa terjadi semakin cepat. Modal dari

suatu negara beralih ke negara lain dalam hitungan detik akibat pemanfaatan

teknologi informasi. Sejalan dengan itu, kegiatan perbankan sebagai urat nadi

perekonomian bangsa tidak luput dari dampak globalisasi. Dalam menjalankan

fungsi intermediary, perbankan menjadi pelaku ekonomi yang berperan

memudahkan lalu lintas dana melalui jasa transfer via media elektronik. Salah satu

permasalahan hukum dalam jasa perbankan adalah belum adanya peraturan yang

memberikan rambu-rambu bagi kegiatan transfer dana elektronik ini, seperti dasar

hukum transfer dana, status kepemilikan dana transfer, perlindungan hukum bagi

pengirim dan penerima dana transfer dalam hal terjadi kesalahan yang ditimbulkan

oleh pihak bank, kedudukan pemilik dana dalam hal ini bank dilikuidasi atau pailit.

Permasalah-permasalahan di atas memerlukan aturan agar memberikan

kepastian hukum bagi pengguna jasa perbankan.

Aspek-aspek hukum lain di dalam bidang keuangan dan perbankan juga banyak

mewarnai problematika di bidang ekonomi dan hukum, misalnya penyimpangan

BLBI, prudential principles yang dihadapkan dengan penurunan fungsi

intermediasi perbankan, munculnya fenomena fee-based income dalam praktik

perbankan, dan berbagai persoalan ekonomi-hukum lainnya, yang kesemuanya itu

perlu memperoleh perhatian kita bersama. Penerapan prinsip kehati-hatian

(prudential banking principles) dalam seluruh kegiatan perbakan merupakan salah

satu cara untuk menciptakan perbankan yang sehat, yang pada gilirannya akan

berdampak positif terhadap perekonomian secara makro. Implementasi prinsip ini

harus menyeluruh, tidak hanya menyangkut masalah pemberian kredit, tetapi

dimulai saat bank tersebut didirikan, penentuan manajemen yang memenuhi uji

kecukupan dan kelayakan (fit and proper test) yang tidak bersifat seremonial.

Ketentuan Bank Indonesia yang mewajibkan fit proper test bagi pengurus bank

masih memiliki banyak kelemahan, seperti masih dimungkinkannya pengurus yang

tidak lulus tes untuk tetap bertahan walaupun harus bertanggungjawab secara

pribadi.

Disamping itu, dalam memberikan kemudahan akses kepada para nasabahnya,

maka penggunaan mesin-mesin ATM, debit card dan credit card berpotensi untuk

merugikan nasabah melalui pembobolan rekening, kerusakan mesin, dan

kesalahan-kesalahan teknis lainnya yang belum tersentuh oleh rambu-rambu

hukum. Kewajiban bank untuk menyediakan mesin-mesin yang layak dan aman

seharusnya mengacu pada standart tertentu, yang secara berkala seharusnya

ditera/dikalibrasi ulang. Selama ini belum ada keseragaman mengenai standar

mesin yang layak untuk dioperasikan. Kasus-kasus yang menunjukkan bahwa

kerugian nasabah yang disebabkan tidak layaknya mesin yang digunakan sudah

cukup banyak mendorong dibuatnya standarisasi setiap teknologi yang digunakan.

Tanpa menafikkan keberadaan lembaga peradilan, praktik perbankan memerlukan

penyelesaian kasus-kasus perbankan yang ditangani secara professional,

menjamin stabilitas perekonomian dan kepercayaan masyarakat dan perbankan.

Kasus-kasus perbankan yang ditangani secara bertele-tele, publikasi yang gencar

dan peradilan yang tidak independen, akan meruntuhkan reputasi perbankan.

Oleh karena itu, perlu adanya gagasan untuk menciptakan mekanisme

penyelesaian yang efesien, efektif dan tetap menjaga reputasi perbankan4.

Hal penting lainnya adalah berkaitan dengan Lembaga Penjamin Simpanan.

Sebagai mana di amanatkan oleh UU Perbankan, pembentukan Lembaga

Penjamin Simpanan harus sesegera mungkin diwujudkan menyusul akan

dihapuskannya kewajiban pemerintah sebagai penjamin dan berakhirnya tugas

BPPN. Aspek hukum yang perlu diperhatikan adalah mengenai status Lembaga

Penjamin Simpanan, perolehan dana jaminan dan pemanfaatan dana jaminan,

yang harus dituangkan dalam peraturan yang jelas. Selain itu, berkaitan dengan

berakhirnya tugas BPPN, perlu adanya lembaga sementara yang bertugas

4 Bandingkan dengan lembaga pasar modal yang sudah memiliki BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal

Indonesia).

menyelesaikan seluruh kewajiban BPPN, terutama transaksi-transaksi yang sudah

dilakukan, dan bahkan kemungkinan tuntutan hukum, apabila dalam pengelolaan

aset, BPPN telah melakukan kesalahan atau perbuatan melawan hukum.

Dalam upaya untuk mengcover banyaknya masalah dalam praktik keuangan dan

perbankan nasional tentu bukan hal yang mudah untuk dibahas dalam sebuah

paparan singkat, maka pada hubungan itulah paper ini akan berupaya membahas

lebih lanjut esensi dari berbagai permasalahan yang telah dianalisir dimuka

melalui pembahasan beberapa aspek hukum sektor keuangan dan perbankan,

yang dalam pembahasannya akan mengacu pada beberapa permasalahan utama

yang berkaitan dengan masalah sistem hukum, penerapan good corporate

governance dalam sistem keuangan dan perbankan nasional, dan juga peran

hukum dalam mengakomodasi berbagai fenomena yang terjadi dalam bidang

keuangan dan perbankan.

B. PEMBAHASAN

1. Dualisme Sistem Hukum

Sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental

merupakan dasar bagi para penegak hukum untuk menggunakan hukum

positif dari sistem Eropa Kontinental tersebut dalam membuat setiap

keputusan. Namun di sisi lain, cukup banyak peraturan perundang-undangan

pada sektor keuangan dan perbankan yang sangat dipengaruhi oleh sistem

hukum Anglo Saxon atau Common Law. Aplikasi kedua sistem hukum yang

berbeda tersebut dalam hukum positif di Indonesia pada sektor keuangan dan

perbankan dalam banyak hal telah mengakibatkan dis-harmoni, yang dapat

terlihat dari pengaturan yang tidak konsisten satu sama lain dari kedua sistem

hukum tersebut yang berpadu dalam suatu materi yang sama.

Sebagai misal, dalam perdagangan surat berharga tanpa warkat (scriptless

trading) umumnya dipergunakan aplikasi teknologi. Hal ini telah menjadi ciri

umum perdagangan di berbagai negara maju maupun di beberapa negara

berkembangan lainnya, termasuk Indonesia. Praktik scriptless trading ini hanya

dimungkinkan apabila disertai dengan suatu tanda tangan digital yang tidak

dikenal dalam sistem hukum positif di Indonesia, yang akan mengakibatkan

perdagangan tersebut tidak sah sehingga batal dengan sendirinya atau dapat

dibatalkan.

Ketimpangan ini umumnya diselesaikan dengan suatu aturan yang mempunyai

tingkat hierarkhi yang lebih rendah dari Undang-undang. Hal ini dapat saja

dilakukan sepanjang tidak terjadi suatu perselisihan hukum. Namum dalam hal

terjadi perselisihan hukum, maka akan menjadi hal penting untuk di

indentifikasi adalah “sistem hukum mana yang akan dianut oleh para penegak

hukum?”. Jawaban tentu saja “sistem hukum positif Indonesia yakni sistem

hukum Kontinental”. Namun keadaan ini sebenarnya merupakan tantangan

bagi para ahli hukum dalam menerapkan konsep “hukum sebagai sarana

pembaharuan” yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja, yang

bermula dari konsep “law as a tool of social engineering” dari Roscoe Pound.

Dengan demikian, hukum harus diciptakan untuk kepentingan masyarakat dan

bukan sebaliknya.

Namun demikian masalah dualisme sistem hukum ini, dapat pula dipandang

sebagai suatu konvergensi positif dari dua sistem hukum yang berbeda.

Konvergensi kedua sistem hukum ini disebabkan utamanya oleh

perkembangan ekonomi dan Internasionalisasi pasar 5. Jadi, sebagai

multiplier effect dari konvergensi di bidang ekonomi, maka pada instansiinstansi

hukum yang relevan dengan bidang ekonomi juga terjadi konvergensi.

Dengan bidang ekonomi juga terjadi konvergensi. Walaupun ada konvergensi

ekonomi yang berakibat pada konvergensi di bidang hukum, pada

kenyataannya tidak semua aspek hukum yang bersifat prosedural tidak

5 Pistor, Katharina and Philip A. Wellons, The Role Of Law and Legal Institutions in Asian Economic

Development. Oxford University Press, New York-USA, 1999, hlm. 282.

terdapat konvergensi6. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan budaya

dan tradisi hukum di masing-masing negara7. Dengan dipandangnya

pertemuan yang tidak terhindarkan dari kedua sistem hukum yang berbeda ini,

maka konvergensi ini dapat lebih memudahkan regulasi yang akomodatif dan

kondusif bagi kebutuhan bisnis dan ekonomi. Patut pula dicatat faktor penting

lain yaitu kebijakan ekonomi jyang dilakukan oleh pemerintah dari negaranegara

Asia yang menjadi kunci yang determinan bagi perubahan sistem

hukum antara 1960 hingga saat ini 8.

2. Penerapan Good Corporate Governance (GCG)

Menarik untuk disimak kutipan berikut,

Good corporate governance of banks is the sine qua non of a sound banking

system. For individual banks it can reduces the cost of capital and enhance

shareholder value. The Asia Banking crisis has, in part, been attributed to

serious inadequacies in the governances of banks. Governance restructuring

will have to accompany bank restructuring. If the latter is to be sustainable.

Good bank governance may not work in isolation. It will need to be

accompanied by good governance in the major constituents of the economic

including the governance of central banks, banking supervisory agencies and

in the corporate sector. The post-crisis period has created an environment

where most of the major actors in Asia are now willing to implement

governance reforms. Not only as a way to ensure survival, but also as a

competitive weapon’’9.

Bagi perusahaan, GCG merupakan asset dan memerlukan komitmen dan

investasi. Kultur governance harus ditumbuhkan termasuk aspek pengambilan

keputusan dalam suatu manajemen. Daftar manfaat dari kepatuhan terhadap GCG

6 Ibid, hlm, 263.

7 Ibid, hlm, 272

8 Ibid, hlm, 273

9 Mathur, Arvind dan Jimmy Burhan, The Corporate Governance Of Banks: CAMEL-IN-A-CAGE, paper

dalam konferensi Internasional tentang ‘Asian Revival; Risk, Change and Opportunity, Asian

Development Bank, Manila-Philippnes,2001 hlm 1. Lihat pula diskusi menarik tentang GCG pada sektor

perbankan

sudah cukup panjang, yang semuanya bermuara pada naiknya nilai tambah

pemegang saham (increasing shareholder value).

Contoh konkrit adalah huutang perusahaan-perusahaan swasta yang di bailed out

dengan kebijakan ‘blanket guarantee’ semata-mata membuktikan bahwa

sebahagian utama sektor kooperasi yang seharusnya menjadi pemain utama

ekonomi tidak lagi berfungsi sebagai asset negara. Perusahaan-perusahaan

swasta ini menjadi beban (liabilities) yang kiprahnya telah menimbulkan hutang

baru yang harus ditanggung renteng oleh para anak, cucu dan cicit kita.

Lemahnya sektor korporasi ini telah menyebabkan mereka makin jauh dari

peranannya sebagai ‘engine of growth’* atau sebagai primadona pembangunan.

Ekonomi telah beralih ke ekonomi fiskal, ekonomi APBN, yang artinya sepanjang

APBN aman maka demikian pula kinerja ekonominya. Di sisi lain, kita masih

beruntung karena masih memiliki UKM (usaha kecil-menengah) dan sektor

informal yang tinggi daya resistensinya terhadap gejolak yang timbul. Sektor inilah

yang mampu menyerap angkatan kerja serta menggairahkan mekanisme pasar

melalui permintaan dan penawarannya. Jumlah bunga obligasi yang dibayarkan

oleh pemerintah itulah yang masih mampu memutar roda ekonomi. Kota saat ini

hidup di ‘kebun bunga’. ‘Peranan bunga’ sangat dominan malah sektor perbankan

itu sendiri hidup dari memetik ‘bunga’ apakah itu dari obligasi pemerintah maupun

SBI. Penerimaan operasional perbankan kita relatif kecil disbanding dengan

penerimaan lain-lain. Penerimaan dari bunga termasuk ke dalam kelompok lainlain

tersebut. Oleh karenanya dengan segala daya kita harus mampu menjaga

agar pemerintah tidak ingkar janji (default) dalam pemenuhan kewajibannya

membayar bunga. Default hanya berarti ‘ the beginning of the end’ dan orang akan

mulai menengok pada krisi perbankan yang kedua.

* dalam artikel Ratna Januarta, Penerapan Good Corporate Governance Pada Sektor Perbankan, Jurnal

Ilmu Hukum Litigasi, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Vol 4, nomor 2, Juni 2003, hlm.

103-117

Penyebab utama dari lemahnya pondasi ekonomi makro Indonesia dibuktikan

dalam studi yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000

di beberapa negara Asia Timur, khususnya Indonesia, Korea, Philippines dan

Thailand, yang menyimpulkan bahwa: ‘countries that sufferes dramatic reversals of

fortune during the Asian financial ciris have identified weaknesses in corporate

governance as one of the major sources of vulnerabilities that led to their

economic meltdown in 1997’’10.

Dilain pihak, Presiden Asian Development Bank, Mr.Tadao Chino pernah

mengatakan bahwa, “…. A dynamic private sector is critical to achieving propoor,

sustainable economic growth….”11. Dalam hal ini sektor korporasi erat kaitannya

dengan usaha pengentasan kemiskinan baik langsung maupun tidak langsung.

Dalam kesempatan yang sama, pernyataan senada juga disampaikan oleh banyak

pihak yang mewakili negara maju maupun yang mewakili negara berkembang,

dalam hal ini mereka menggaris-bawahi arti penting dan peran GCG dan arti

strategis peran sektor swasta dalam pembangunan.

Sektor korporasi yang mampu berperan positif bagi pembangunan ekonomi adalah

sektor korporasi yang merupakan aset nasional dan bukan mereka yang hanya

menjadi beban dan parasit masyarakat. Kelompok sektor koporasi ini adalah

kelompok yang patuh pada tata kelola korporasi yang baik, taat pada aturan main

dan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan kata lain, adalah mereka yang

mampu mempraktikkan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dalam

menjalankan usahanya.

Dalam kehidupan saat ini GCG harus merupakan komitmen, dan komitmen ini

membutuhkan investasi. Pembentukan beberapa komite seperti Komite Audit,

Komite Anggaran, dan lain sebagainya, termasuk pula pengangkatan Komisaris

dan Direksi Independen akan memerlukan biaya. Demikian pula penegakkan

10 Zhuang Juzhong et al. Corporate Governance and Finance in East Asia. Vol 1 Asia Development Bank

2000 hlm 1.

11 Chino, Tadao, opening Speech in Asian Development Banks Annual Meeting, Honolulu,USA, May 2001

transparansi, akuntabilitas dan tanggungjawab memerlukan publikasi dan

sosialisasi yang tidak budget neutral.

Manfaatnya sudah banyak terbukti, bahwa GCG menaikkan nilai tambah para

pemegang saham perusahaan. Namun, merubah kultur dan etos kerja tidak pula

mudah, termasuk sulitnya memperbaiki cara pengambilan keputusan dan merubah

perilaku manajemen. Dalam banyak segi, penerapan GCG baru sampai pada

tahap retorika. Keengganan menerapkan GCG lebih banyak disebabkan karena

sikap yang menilai bahwa GCG sebagai beban dan bukan sebagai aset

perusahaan.

Dengan demikian GCG sulit dimulai apabila orang masih bersikap skeptis. Hal ini

terlihat dari masih banyaknya yang beranggapan bahwa GCG itu tidak perlu

karena tidak adanya sanksi dan insentif. Perusahaan yang tidak menerapkan GCG

malah dinilai lebih maju, karena prinsip keterbukaan perusahaan bagi sementara

pihak dianggap lebih banyak negatif atau mudharatnya.

Namun di sisi lain, banyak juga perusahaan-perusahaan yang mudah merasakan

nilai tambah dari aplikasi GCG, seperti lebih mudanya akses ke pasar modal

Internasional serta banyaknya investor yang bersedia membayar premi yang lebih

tinggi bagi saham perusahaan yang telah menerapkan GCG. Dalam hubungan ini

kiranya perlu pula digalakkan penerapan label khusus bagi perusahaan yang

sudah menerapkan GCG seperti diberikan ISO khusus untuk GCG. Perusahaan

yang sudah menerapkan GCG akan membawa bendera bonafiditas. Efek positif

lainnya adalah mampu merekrut tenaga yang terbaik yang ada dipasar tenaga

kerja pada saat ini, tenaga professional lebih bersikap kritis dalam mencari

pekerjaan. Kelompok tenaga profesional ini hanya ingin bergabung dengan

perusahaan terbaik termasuk didalannya kepatuhannya terhadap praktek etika

bisnis. Bekerja pada perusahaan yang “brengsek” hanya akan membawa petaka.

Para karyawan akan selalu terbawa-bawa ketika perusahaan memperoleh

masalah. Oleh karena itu pula, paradigme shareholder oriented sudah bergeser ke

paradigma stakeholder oriented.

GCG pada dasarnya mencakup etika bisnis, kumpulan etika ini dimuat dalam code

of GCG. Dibutuhkan kesukarelaan dari pihak korporasi dalam mematuhi code ini12.

Tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak menaatinya karena memang sifatnya

voluntary compliance. Code atau pedoman sejenis ini biasanya pula diterbitkan

oleh lembaga/asosiasi profesi yang tidak mempunyai kewenangan publik,

misalnya Perbanas. Dalam pelaksanaannya, agar pedoman semacam ini dapat

dipaksakan, maka pedoman ini harus dikeluarkan oleh instansi/lembaga yang

mempunyai kewenangan mengatur. Oleh karena itu pula, banyak ketentuan

pedoman GCG yang diambil alih oleh Peraturan Perundang-undangan yang

berlaku dan masyarakat diwajibkan untuk mematuhinya (mandatory compliance).

Disini dapat di terapkan sanksi bagi para pelanggarnya. Sebagai contoh adalah

ketentuan-ketentuan tentang praktik GCG dalam UU Perseroan Terbatas, UU

Pasar Modal, UU Perbankan dan juga peraturan pelaksanaanya.

Pada banyak negara berkembang, pelaksanaan GCG lebih didorong karena

adanya rasa takut terhadap sanksi yang ada, atau takut kepada para penguasa.

Peraturan yang berlaku menyediakan berbagai sanksi perdata maupun pidana,

bagi para pelanggarnya, apalagi saat ini di mana ultimum remedium lebih

menonjol dari primum remendium. Inilah sikap pentaatan terhadap GCG yang

bersifat regulatory driven dan bukan atas dorongan professional driven dan ethic

driven.

Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa GCG harus dianggap

sebagai asset yang tidak berwujud (intangible asset) yang akan memberikan hasil

balik yang memadai dalam hal memberikan nilai tambah kepada para pemegang

saham. GCG juga harus menajdi way of life atau kultur perusahaan yang dapat

dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan serta menjadi pedoman

perilaku manajemen.

12 Di Indonesia antara lain diterbitkan oleh Komite Nasional untuk GCG

Prinsip-prinsip responsibility; accountability, fairness, dan transparency yang

pertama kali diperkenalkan oleh OECD menjadi suatu prinsip dasar yang diadopsi

dan diadaptasi oleh banyak institusi dalam menyusun pedoman GCG. Dalam

konteks perbankan, apabila suatu bank akan go public, maka harga sahamnya di

pasar harus mencerminkan keempat prinsip dasar tersebut. Pasar yang efektif dan

efisien hanyalah pasar yang mampu mencerminkan harga yang telah

mengakomodasikan semua informasi yang ada. Praktek tercela insider trading

misalnya, tidak mencerminkan harga yang sebenarnya karena informasi yang

dapat mempengaruhi harga hanya dimiliki oleh para insiders yang melakukan

perdagangan.

Survey terakhir Mc Kinsey pada tahun 2002 membuktikan bahwa investor

bersedia membayar premium bagi ‘awell-governed company’. Untuk Indonesia

mereka bersedia membayar premi sebesar 27%. Suatu kesimpulan yang dapat

ditarik dari survey tersebut adalah bahwa semakin rendah tingkat budaya GCG

pada suatu negara maka premium yang akan diberikan akan semakin tinggi

kepada perusahaan yang menerapkan GCG13. Dalam hal ini, para investor akan

sangat menghargai manajemen perusahaan yang berani melakukan hal positif di

dalam tata kelola perusahaan walaupun lingkungannya tidak mendukung. Dengan

demikian, tidak ada pilihan lain, bagi sebuah bank yang merupakan lembaga

bisnis kepercayaan selain menerapkan konsep GCG termaksud.

Demikian pula komisaris dan direksi yang sudah berada pada jaman dan nuansa

pengelolaan bisnis yang berubah dimana suatu perusahaan yang tinggi daya

resistensinya terhadap berbagai krisis dan tinggi sustainabilitynya, hanyalah

perusahaan dengan tata kelola yang bernuansa GCG. Selaku leader of the last

resort, Bank Sentral juga harus mengeluarkan pedoman GCG yang dapat diikuti

oleh kalangan perbankan. Di dalam pedoman yang bersifat voluntary ini, harus

dimuat hal pokok dimana kewajiban pemenuhannya bersifat mandatory. Sistem

reward and punishment harus diperkenalkan. Hingga saat ini, belum ada satu

13 Ratna Jakarta, op sit, hlm. 106

bank pun yang mampu mengibarkan bendera GCG sebagai salah satu

bonafiditasnya. Belum ada benchmark bagi suatu bank yang fully GCG.

the legal framework in a country is as vital for economic development as for

political and social development. Creating wealth through the cumulative

commitmen of human, technological and capital resources depends greatly on

a set of rules securing property rights, governing civil and commercial

behaviour, and limiting the power of the state…. The legal framework also

effects the lives of the poor and , as such, has become an important dimension

of strategies for poverty alleviation. Ini the strunggle against discrimination, in

the protection of the socially weak, and in the distribution of opportunities in the

society, the law can make an important contribution to a just and equitable

society and thus to prospects for social development and poverty alleviation’’14

pernyataan yang optimis dari World Bank tersebut merupakan referensi yang

bermanfaat untuk mendiskusikan peran hukum dalam pembangunan. Esensi dari

pernyataan tersebut antara lain menggaris-bawahi bahwa kerangka kerja hukum

dalam suatu negara adalah sangat penting bagi perkembangan ekonomi, politik

dan sosial. Kerangka hukum yang ditata baik sejak awal akan menciptakan efek

domino yang baik pada berbagai sektor kehidupan bernegara, dan sebaliknya.

Dalam kerangka mencapai sasaran berbagai perkembangan dan pembangunan

tersebut hukum harus menampakkan perannya. Dalam kaitannya dengan

kerangka dasar pembangunan nasional, hukum mewujudkan diri dalam 2 wajah,

yaitu di satu pihak hukum memperketatkan diri sebagai suatu aspek

pembangunan, artinya bahwa hukum itu diikat sebagai suatu faktor dari

pembangunan itu sendiri yang perlu untuk mendapat prioritas dalam usaha

penegakan pembangunan dan pembinaannya15. Di lain pihak hukum itu harus

dipandang sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat yang

akan menentukan keberhasilan usaha-usaha pembangunan nasional. Berkaitan

dengan masalah hubungan hukum dengan pembangunan ini, terdapat berbagai

14 World Bank, Governance: The world Bank’s Experience: The World Bank Washington DC, 1994

sebagaimana dikutip dalam Mc Auslan, Patrick, Law, Governance and the development of the market

practical problems and possible solutions dalam Faundez, Julio, Ed, Good Government and Law-Legal

and Institution Reform in Developing Countries The British Council, 1997, hlm 25

15 Jusuf Anwar, op cit, hlm 33.

konsep yang diajukan oleh pakar hukum. Pada umumnya mereka berpendapat

bahwa dalam pembangunan yang dilaksanakan, hukum berfungsi bukan hanya

sekedar “as a tool of social control” atau sebagai alat yang berfungsi

mempertahankan stabilitas, tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Roscoe

Pound, hukum juga berfungsi sebagai “as a tool of social engineering”16.

Sehubungan dengan hal ini Sumaryati Hartono berpendapat, penyusunan UUD

1945 sebenarnya beranjak pada filsafah futuristik yang antara lain dikemukakan

oleh Roscoe Pound, dan yang sekarang dikenal sebagai falsafah hukum yang

melihat peranan hukum sebagai a tool of social engineering. Falsafah ini di

Indonesia disempurnakan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai falsafah yang

memberikan peranan kepada hukum sebagai sarana pembangunan, yang

pendekatannya ternyata memang sudah diterapkan oleh penyusun UUD 194517.

Hukum hanya berpegang pada kewenangannya untuk mengatur, memerintah,

memaksa, serta melarang dan sebagainya, tanpa menanyakan apakah ketentuan

yang dibuatnya dapat dijalankan secara efektif. Oleh karena itu, di dalam “social

Engineering” ini sangat penting peranan dan umpan balik (feedback), agar

pengaturan itu senantiasa dapat disesuaikan dengan keadaan yang timbul di

masyarakat. Apabila hukum itu dilihat sebagai suatu sarana penunjang terhadap

pembangunan maka fungsi hukum itu harus mempunyai suatu pola tertentu.

Konsep Mochtar Kusumaatmadja terasa memiliki ruang lingkup yang sangat luas –

lebih daripada Roscoe Pound sendiri sebagai orang pertama yang

mengkonsepsikan fungsi hukum sebagai tool seperti dijelaskannya: “Dalam

artinya yang luas maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas

dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat

16 Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale Unversity Press, USA, 1854, hlm 47,

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,

Bandung, LPHK FH UNPAD, Binacipta, Bandung 1976, hlm, 11-12

17 Mochtar Kusumaatmadja, hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, LPHK. UNPAD,

Binacipta, Bandung 1976, hlm 9 Suatu uraian tentang landasan pikiran, pola dan mekanisme

pembaharuan hukum di Indonesia.

melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses

(process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah dalam kenyataan”18.

Dalam sistem hukum ini, hukum pembangunan (development) meliputi segala

tindakan dan kegiatan yang memperkuat infrastruktur hukum seperti lembaga

hukum, organisasi profesi hukum, lembaga-lembaga pendidikan hukum serta

segala sesuatunya yang berkenaan dengan penyelesaian problem khusus

“pembangunan”. Konsepsi hukum pembangunan selaras dengan orientasi baru

mengenai pengertian hukum yang dikemukakan oleh A. Vilhem Rusted yang

mengatakan bahwa hukum itu adalah the legal machinery in action yaitu sebagai

suatu kesatuan yang mencakup segala kaidah baik yang tertulis maupun yang

tidak tertulis, prasarana-prasarana seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,

Advokat dan keadaan diri pribadi daripada individu penegak hukum itu sendiri

bahkan juga fakultas hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum19.

Dengan demikian paradigma “hukum sebagai jawaban atas masalah yang timbul’

harus diubah menjadi paradigma ‘hukum yang mampu melihat ke depan’ (forward

looking) terhadap berbagai kemungkinan terjadinya kasus perdata maupun pidana

yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai akibat dibukanya dunia cyber.

Perkembangan teknologi tidak saja menumbuhkan kemajuan ekonomi, akan tetapi

pula membuka peluang bagi pelaku kejahatan untuk memanfaatkan dunia yang

menjadi seamless dan borderless. Contoh yang umum adalah relevan dengan

terjadinya peluang kejahatan seperti tindakan pencucian uang serta adanya rezim

devisa bebas yang telah dianut Indonesia sekitar tiga dekade belakangan ini.

Contoh lain adalah penerapan sistem ‘single entry’ untuk akuntasi keuangan

pemerintah yang diberlakukan ICW di satu pihak, dan dipihak lainnya adalah

kebutuhan untuk menerapkan sistem ‘double entry’ sesuai dengan Standar

keuangan Internasional. Merupakan kenyataan yang sangat menggembirakan

18 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, cetakan Kedua

LPHK FH UNPAD, Binacipta, Bandung, hlm 11

19 S. Tasrif, peranan Hukum dan Pembangunan, Primsa no. 6 Tahun ke III, 1993, hlm 5

bahwa saat ini telah terdapat penyesuaian terhadap ketentuan Perundangundangan

keuangan negara, antara lain diundangkannya UU Keuangan Negara

(2003) yang akan diikuti dengan UU Perbendaharaan Negara serta UU

Pengawasan Keuangan Negara. Kedua ketentuan yang terakhir dan masih dalam

bentuk rancangan Undang-Undang tersebut saat ini sedang dalam pembahasan

intensif antara pemerintah dan DPR yang diharapkan selesai dalam tahun 2003.

hal ini merupakan contoh responsifnya hukum terhadap kebutuhan ekonomi walau

sangat terlambat. Sebagai informasi tambahan, pembahasan konsep UU

Keuangan Negara telah digarap oleh tidak kurang 15 tim sejak sekitar 30 tahun

lalu.

C. PENUTUP

1. Terjadinya dualisme hukum sebaiknya disikapi sebagai suatu hal yang positif

dan dapat lebih memudahkan regulasi yang akomodatif dan kondusif bagi

kebutuhan bisnis dan ekonomi. Faktor penting lainnya yaitu kebijakan ekonomi

yang dilakukan oleh pemerintah dari negara-negara Asia menjadi kunci yang

diterminan bagi pergeseran dan perubahan sistem hukum di banyak negara

Asia antara 1960 hingga saat ini. Namun demikian, perpaduan sistem hukum

ini belum dapat diklaim sebagai kovergensi penuh dan total dari kedua sistem

kontinental dan Anglo Saxon, karena aspek-aspek lain yang bersifat

prosedural banyak dibentuk dari sejarah, budaya dan tradisi hukum masingmasing

negara.

2. Penerapan good corporate governance harus dilakukan penuh kesadaran atau

komitmen yang tinggi dari berbagai pihak dan kalangan. Dalam konteks

keuangan dan perbankan, hal ini akan menjadi tugas setiap elemen

perusahaan yang bergerak di sektor keuangan dan perbankan, asosiasi

keuangan dan perbankan, BPPN, dan juga Bank Sentral.

3. Perubahan paradigma tentang peran hukum, serta dari ‘hukum yang mengikuti

perkembangan ekonomi dan masyarakat’ menjadi ‘hukum yang berorientasi ke

depan yang mampu mengantisipasi dan mengakomodasi serta menjembatani

masalah hukum dan ekonomi dalam masyarakat nasional, namun juga

akomodatif dan mampu berintegrasi dengan ketentuan-ketentuan internasional

yang relevan, menjadi suatu kebutuhan yang mendesak bagi perkembangan

ekonomi dan hukum.

sumber :

http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&q=JOURNAL+HUKUM+EKONOMI&oq=JOURNAL+HUKUM+EKONOMI&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=e&gs_upl=43370l54799l0l29l29l4l6l1l1l664l6808l2.1.6.4.1.5&fp=141010c178f24899&biw=1024&bih=555

HAK JAMINAN


HUKUM PERDATA : HAK KEBENDAAN YANG BERSIFAT JAMINAN

Seperti telah disebutkan, hak kebendaan itu ada 2 macam, yaitu:

1.Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan

Contohnya: bezit danhak milik yang telah dibahas terdahulu.

2.Hak kebendaan yang bersifat jaminan

Contohnya: Hak gadai, hak hipotik dan Fidusia.

Hak kebendaan yang bersifat jaminan akan dibahas secara garis besar karena secara rincinya akan dibahas dalam hukum jaminan tersendiri.

UNSUR – UNSUR HUKUM PERIKATAN


Unsur-unsur Perikatan

Dari pengertian-pengertian mengenai perikatan ,maka dapat diuraikan lebih jelas unsur-unsur yang terdapat dalam perikatan yaitu :

1. Hubungan Hukum

Hubungan hukum adalah hubungan yang didalamnya melekat hak pada salah satu pihak dan melekat kewajiban pada pihak lainnya. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Hubungan hukum ini perlu dibedakan dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan, dan kesusilaan. Pengingkaran terhadap hubungan- hubungan tersebut tidak menimbulkan akibat hukum.

Kenyataan hukum adalah suatu kenyataan yang menimbulkan akibat hukum yaitu terjadinya, berubahnya, hapusnya, beralihnya hak subyektif, baik dalam bidang hukum keluarga, hukum benda, maupun hukum perorangan.

Kelahiran adalah kenyataan hukum sedangkan akibat hukum adalah kewajiban-kewajiban untuk memelihara dan memberikan pendidikan; perikatan adalah akibat hukum dari persetujuan.

Perbuatan-perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan dengan mana orang yang melakukan perbuatan itu bermaksud untuk menimbulkan suatu akibat hukum.

Perbuatan-perbuatan hukum yang bukan merupakan perbuatan- perbuatan hukum. Adakalanya undang-undang memberi akibat hukum kepada perbuatan-perbuatan, dimana orang yang melakukannya tidak memikirkan sama sekali kepada akibat-akibat hukumnya. Pada pokoknya tidak bermaksud untuk menimbulkan akibat hukum. Perbuatan-perbuatan yang bukan merupakan perbuatan hukum ini dibagi lagi menjadi dua yaitu perbuatan-perbuatan menurut hukum (misalnya, perwakilan sukarela dan pembayaran tidak terutang) dan perbuatan-perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 s/d 1380 KUH Perdata).

Peristiwa-peristiwa hukum. Adakalanya undang-undang memberi akibat hukum pada suatu keadaan atau peristiwa yang bukan terjadi karena perbuatan manusia : pekarangan yang bertetangga, kelahiran, dan kematian.

2. Kekayaan

Hukum perikatan merupakan bagian dari Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht) dan bagian lain dari Hukum Harta Kekayaan adalah Hukum Benda.

Untuk menentukan bahwa suatu hubungan itu merupakan perikatan, pada mulanya para sarjana menggunakan ukuran dapat ”dinilai dengan uang”. Suatu hubungan dianggap dapat dinilai dengan uang, jika kerugian yang diderita seseorang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi nyatanya ukuran tersebut tidak dapat memberikan pembatasan, karena dalam kehidupan bermasyarakat sering kali terdapat hubungan-hubungan yang sulit untuk dinilai dengan uang, misalnya cacat badaniah akibat perbuatan seseorang.

Jadi kriteria ”dapat dinilai dengan uang” tidak lagi dipergunakan sebagi suatu kriteria untuk menentukan adanya suatu perikatan. Namun, walaupun ukuran tersebut sudah ditinggalkan, akan tetapi bukan berarti bahwa ”dapat dinilai dengan uang” adalah tidak relevan, karena setiap perbuatan hukum yang dapat dinilai dengan uang selalu merupakan perikatan.

3. Pihak-pihak

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara orang-orang tertentu yaitu kreditur dan debitur. Para pihak pada suatu perikatan disebut subyek- subyek perikatan, yaitu kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas prestasi. Kreditur biasanya disebut sebagai pihak yang aktif sedangkan debitur biasanya pihak yang pasif. Sebagai pihak yang aktif kreditur dapat melakuka tindakan-tindakan tertentu terhadap debitur yang pasif yang tidak mau memenuhi kewajibannya. Tindakan-tindakan kreditur dapat berupa memberi peringatan-peringatan menggugat dimuka pengadilan dan sebagainya.

Debitur harus selalu dikenal atau diketahui, hal ini penting karena berkaitan dalam hal untuk menuntut pemenuhan prestasi.

Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus ada satu orang kreditur dan sekurang-kurangnya satu orang debitur. Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam suatu perikatan itu terdapat beberapa orang kreditur dan beberapa orang debitur.

4. Objek Hukum (Prestasi)

Objek dari perikatan adalah apa yang harus dipenuhi oleh si berutang dan merupakan hak si berpiutang. Biasanya disebut penunaian atau prestasi, yaitu debitur berkewajiban atas suatu prestasi dan kreditur berhak atas suatu prestasi. Wujud dari prestasi adalah memberi sesuatu, berbuat sesutau dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW).

Pada perikatan untuk memberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan sesuatu barang atau berkewajiban memberikan kenikmatan atas sesuatu barang, misalnya penjual berkewajiban menyerahkan 7 barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan.

Pada perikatan berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu yang bukan berupa memberikan sesuatu misalnya pelukis, penyanyi, penari, dll.

Pada perikatan tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah dijanjikan. Misalnya tidak mendirikan bangunan ditanah orang lain, tidak membuat bunyi yang bising yang dapat mengganggu ketenangan orang lain, dll.

Objek perikatan harus memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu :

a. Obyeknya harus tertentu.

Dalam Pasal 1320 sub 3 BW menyebutkan sebagai unsur terjadinya persetujuan suatu obyek tertentu, tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai dapat ditentukan. Karena perikatan dengan obyek yang dapat ditentukan diakui sah. Sebagai contoh yaitu Pasal 1465 BW yang menetukan bahwa pada jual beli harganya dapat ditentukan oleh pihak ketiga. Perikatan adalah tidak sah jika obyeknya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan. Misalnya, sesorang menerima tugas untuk membangun sebuah rumah tanpa disebutkan bagaimana bentuknya dan berapa luasnya.

b. Obyeknya harus diperbolehkan

Menurut Pasal 1335 dan 1337 BW, persetujuan tidak akan menimbulkan perikatan jika obyeknya bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau jika dilarang oleh undang-undang. Pasal 23 AB menentukan bahwa semua perbuatan-perbuatan dan persetujuan- persetujuan adalah batal jika bertentangan dengan undang-undang yang menyangkut ketertiban umum atau kesusilaan. Di satu pihak Pasal 23 AB lebih luas daripada Pasal-pasal 1335 dan 1337 BW, karena selain perbuatan-perbuatan mencangkup juga persetujuan akan tetapi di lain pihak lebih sempit karena kebatalannya hanya jika bertentangan dengan undang-undang saja. Kesimpulannya bahwa 8 objek perikatan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

c. Obyeknya dapat dinilai dengan uang.

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dijabarkan di atas yaitu perikatan adalah suatu hubungan hukum yang letaknya dalam lapangan harta kekayaan 8 objek perikatan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dijabarkan di atas yaitu perikatan adalah suatu hubungan hukum yang letaknya dalam lapangan harta kekayaan.

d. Obyeknya harus mungkin.

Dahulu untuk berlakunya perikatan disyaratkan juga prestasinya harus mungkin untuk dilaksanakan. Sehubungan dengan itu dibedakan antara ketidakmungkinan obyektif dan ketidakmungkinan subyektif. Pada ketidakmungkinan obyektif tidak akan timbul perikatan sedangkan pada ketidakmungkinan subyektif tidak menghalangi terjadinya perikatan. Prestasi pada ketidakmungkinan obyektif tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun. Contoh : prestasinya berupa menempuh jarak Semarang – Jakarta dengan mobil dalam waktu 3 jam.

Perbedaan antara ketidakmungkinan obyektif dengan ketidakmungkinan subyektif yaitu terletak pada pemikiran bahwa dalam hal ketidakmungkinan pada contoh pertama setiap orang mengetahui bahwa prestasi tidak mungkin dilaksanakan dan karena kreditur tidak dapat mengharapkan pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan dalam contoh kedua, ketidakmungkinan itu hanya diketahui oleh debitur yang bersangkutan saja.

Dalam perkembangan selanjutnya baik Pitlo maupun Asser berpendapat bahwa adalah tidak relevan untuk mempersoalkan ketidakmungkinan subyektif dan obyektif. Ketidakmungkinan untuk melakukan prestasi dari debitur itu hendaknya dilihat dari sudut kreditur, yaitu apakah kreditur mengetahui atau seharusnya mengetahui tentang ketidakmungkinan tersebut. Jika kreditur mengetahui, maka perikatan menjadi batal dan sebaliknya, jika kreditur tidak mengetahui debitur tetap berkewajiban untuk melaksanakan prestasi.

Prinsip-Prinsip Hukum Adat tentang Hak Atas Tanah


Pandangan dasar yang dianut suatu negara turut menentukan isi aturan-aturan hukumnya termasuk aturan yang menyangkut persoalan arti tanah dalam hubungannya dengan penguasaan tanah oleh seseorang di negara tersebut. Dan di negara kita pandangan dasar rakyat tentang orang dan tanahnya adalah sederhana dan berwujud di dalam cerita rakyat sebagai suatu mythos. Mythos yang berisi khayalan aneh tersebut bila diperhatikan dengan hati-hati adalah hasil kemampuan berpikir yang sangat abstrak dan adanya perasaan totalitas terhadap hal yang dihadapinya secara mendalam dimana mythos tersebut mengandung arti dan nilai kemanusiaan yang dalam.
Mythos tersebut dimulai dari adanya dua fenomena, yang satu sama lain berlainan secara prinsipil. Yang pertama ialah langit dan yang kedua adalah bumi atau tanah. Langit merupakan bapak alam semesta dan bumi adalah ibunya. Perkawinan langit dan bumi, sama artinya dengan perkawinan bapak dan ibu. Dari perkawinan itu menghasilkan anak-anak yakni segala apa yang ada diatas bumi seperti benda-benda mati, tumbuh-tumbuhan, binatang dan juga manusia. Sebagai anak dalam satu keluarga, hubungan antara mereka adalah saling menyayangi, saling menjaga keberadaan dan keselamatannya, saling bantu membantu dan saling tolong menolong. Manusia sebagai anak dalam wujudnya sebagai rakyat yang tinggal dan hidup diatas tanah lingkungan itu, ada kewajiban untuk menjaga, membela, mempertahankan dan memelihara kelestarian, kesejahteraan, kehormatan tanah lingkungan tempat tinggalnya bersama segala isinya.
Dalam hubungan antara langit-bumi dan manusia, kemesraan sifat hubungan rakyat dari suatu lingkungan tempat tinggal dimana ia dilahirkan, dibesarkan dan melaksanakan kehidupannya, yang seterusnya juga diteruskan dengan keinginannya untuk juga dikubur disitu bila nanti sudah meninggal dunia merupakan kodrat alam yang mesti berlaku bagi manusia. Hukum kodrat tersebut merupakan hubungan yang penuh cinta kasih sayang antara ‘ibu dan anak kandungnya’. Hubungan tersebut oleh rakyat dilihat sebagai hubungan yang didalamnya mengandung hak dan kewajiban dasar.
Tentang tugas pokok rakyat yang mendasar yang berhubungan dengan tanah lingkungannya, yang perlu diketahui ialah apa dan siapa yang dimaksud dengan rakyat, bagaimana cara melaksanakan tugas itu dan isi tugas pokok tersebut. Sesuai dengan pandangan adat, seorang individu menurut kodratnya adalah makhluk sosial dan tidak hidup sendiri-sendiri terlepas dan bebas satu dengan yang lain. Dan sebagai makhluk sosial, seorang individu dalam hidup bersama saling hormat-menghormati, saling menghargai dan saling membantu dalam menghadapi segala persoalan hidup dan kehidupan bersama. Dan isi tugas pokok rakyat terhadap ibu pertiwi meliputi menjaga kelestarian tanah lingkungan beserta isinya, membelanya dari ancaman luar, memelihara dengan sebaik-baiknya dan memanfaatkannya menurut kepatutan serta mengatur segalanya dengan sebaik-baiknya.
Penguasaan tanah lingkungan oleh rakyat sebagai satu kesatuan dalam hukum adat disebut sebagai ‘Ulayat’. Sedangkan penambahan kata hak dalam kata ‘Hak Ulayat’ merupakan pengaruh pengetahuan hukum dari luar. Hak dalam sistem hukum adat merupakan hak pakai dari masyarakat sesuai dengan fungsinya yang dimaksud bagi masyarakat yang bersangkutan. Hak-hak itu tidak dapat dialihkan kepada siapapun. Bilamana hak itu selesai pemanfaatannya oleh masyarakat, tanah tersebut kembali menjadi tanah ulayat.
Penguasaan atas tanah lingkungan melalui hak ulayat oleh masyarakat hukum atau persekutuan hukum adalah penguasaan yang isi utamanya adalah menjaga, mengurus serta mengatur tentang bagaimana tanah lingkungan yang bersangkutan dapat memenuhi fungsinya bagi masyarakat sesuai dengan tujuan yang dicanangkan di dalam Adat idée yang bersumber pada Hukum Kodrat. Penguasaan atas tanah lingkungan melalui hak ulayat oleh masyarakat hukum tersebut bukan berarti wilayah itu adalah ‘hak milik’ dalam arti yang sama dengan hak perorangan. Penguasaan itu adalah merupakan ‘hak asasi masyarakat hukum’ yang dasarnya ialah prinsip yang bersumber pada ketentuan alam. Mempersoalkan bukti hak ulayat yang ada pada masyarakat hukum adalah menanyakan suatu hal yang mustahil. Adanya hak ulayat pada suatu masyarakat hukum adat hanya dapat diketahui dengan memperhatikan proses yang dijalani masyarakat hukum adat yang bersangkutan tentang kapan mulai adanya dan bagaimana adanya masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Selain itu dalam sistem hukum adat pemberian hak atas tanah dilakukan dengan memperhatikan macam golongan warga yang bersangkutan, jenis peruntukannya, dan kualitas hubungan individu dengan tanah tersebut. Hak atas tanah dalam lingkungan hukum adat merupakan hak yang menumpang

Sumber : http://www.google.com

SUMBER-SUMBER HUKUM DAGANG

Sumber-sumber hukum dagang adalah tempat dimana bisa didapatkan peraturan-peraturan mengenai Hukum Dagang. Beberapa sumber Hukum Dagang yaitu ;
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHD)
KUHD mengatur berbagai perikatan yang berkaitan dengan perkembangan lapangan hukum perusahaan. Sebagai peraturan yang telah terkodifikasi, KUHD masih terdapat kekurangan dimana kekurangan tersebut diatur dengan peraturan perundang-undangan yang lain.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Sesuai pasal 1 KUHD, KUH Perdata menjadi sumber hukum dagang sepanjang KUHD tidak mengatur hal-hal tertentu dan hal-hal tertentu tersebut diatur dalam KUH Perdata khususnya buku III. Dapat dikatakan bahwa KUH Perdata mengatur pemeriksaan secara umum atau untuk orang-orang pada umumnya. Sedangkan KUHD lebih bersifat khusus yang ditujukan untuk kepentingan pedagang.

c. Peraturan Perundang-Undangan
Selain KUHD, masih terdapat beberapa peraturan perundang-undangan lain yang mengatur Hukum Dagang, diantaranya ;
1) UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
2) UU No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT)
3) UU No 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta
4) UU No 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha
5) UU No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
dsb

d. Kebiasaan
Kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus dan tidak terputus dan sudah diterima oleh masyarakat pada umumnya serta pedagang pada khususnya, dapat dipakai juga sebagai sumber hukum pada Hukum Dagang. Hal ini sesuai dengan pasal 1339 KUH Perdata bahwa perjanjian tidak saja mengikat yang secara tegas diperjanjikan, tetapi juga terikat pada kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan perjanjian tersebut. Contohnya tentang pemberian komisi, jual beli dengan angsuran, dan sebagainya.

e. Perjanjian yang dibuat para pihak
Berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata disebutkan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dalam hal ini, persetujuan, perjanjian ataupun kesepakatan memegang peranan bagi para pihak. Contohnya dalam pasal 1477 KUH Perdata yang menentukan bahwa selama tidak diperjanjikan lain, maka penyerahan terjadi di tempat dimana barang berada pada saat terjadi kata sepakat. Misalkan penyerahan barang diperjanjikan dengan klausula FOB (Free On Board) maka penyerahan barang dilaksanakan ketika barang sudah berada di atas kapal.

f. Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional diadakan dengan tujuan agar pengaturan tentang persoalan Hukum Dagang dapat diatur secara seragam oleh masing-masing hukum nasional dari negara-negara peserta yang terikat dalam perjanjian internasional tersebut. Untuk dapat diterima dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat maka perjanjian internasional tersebut harus diratifikasi oleh masing-masing negara yang terikat dalam perjanjian internasional tersebut.

Macam perjanjian internasional ;
1) Traktat yaitu perjanjian bilateral yang dilakukan oleh dua negara saja. Contohnya traktat yang dibuat oleh Indonesia dengan Amerika yang mengatur tentang pemberian perlindungan hak cipta yang kemudian disahkan melalui Keppres No.25 Tahun 1989

2) Konvensi yaitu perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara. Contohnya Konvensi Paris yang mengatur tentang merek.

Sumber : http://www.google.com

ciri-ciri hukum dan sifatnya

bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu:
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3. Peraturan itu bersifat memaksa.
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.

Selanjutnya, agar hukum itu dapat dikenal dengan baik, haruslah mengetahui ciri-ciri hukum. Menurut C.S.T. Kansil, S.H., ciri-ciri hukum adalah sebagai berikut:

a. Terdapat perintah dan/atau larangan.
b. Perintah dan/atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang.
Setiap orang berkewajiban untuk bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata-tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, hukum meliputi pelbagai peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan orang yang satu dengan yang lainnya, yakni peraturan-peraturan hidup bermasyarakat yang dinamakan dengan ‘Kaedah Hukum’.
Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar suatu ‘Kaedah Hukum’ akan dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran ‘Kaedah Hukum’) yang berupa ‘hukuman’.

Pada dasarnya, hukuman atau pidana itu berbagai jenis bentuknya. Akan tetapi, sesuai dengan Bab II (PIDANA), Pasal 10, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah:

* Pidana pokok:

1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.

* Pidana tambahan:

1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.

Sedangkan sifat bagi hukum adalah sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mematuhinya. Ini harus diadakan bagi sebuah hukum agar kaedah-kaedah hukum itu dapat ditaati, karena tidak semua orang hendak mentaati kaedah-kaedah hukum itu.

Sumber : http://www.google.com